Jumat, 25 Februari 2011

TEORI PENGKAJIAN FIKSI



FIKSI: SEBUAH TEKS PROSA NARATIF

1.FIKSI: PENGERTIAN DAN HAKIKAT

Karya Imajiner dan Estis. Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative teks) atau wacana naratif (narrative discource) (dalam pendekatan struktural dan semio tik). Astilah fiksi dalam pengertian ini adalah cerita rekaan atau cerita khayalan. Fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah (Abrams, 1981: 61).karya fiksi menyaran pada suatu karya yang menceritakab sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan dan tidak sebenarnya. Istilah fiksi sering digunakan dalam pertentangan dengan realitas-sesuatu yang benar ada dan terjadi pada dunia nyata yang bersifat empiris, inilah yang membedakan antara fiksi dan non fiksi. Tokoh, peristiwa, dan tempat yang disebut-sebut dalam fiksi adalah tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajinatif, sedangkan pada karya nonfiksi bersifat faktual.
Fiksi menurut Alternberd dan Lewis (1966: 14), dapat diartikan sebagai ”prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia”.
Dalam dunia kesastraan terdapat suatu bentuk karya sastra yang mendasarkan diri pada fakta. Karya yang demkian oleh Abrams disebut sebagai fiksi historis (historical fiction), jika yang menjadi dasar penulisan fakta sejarah, fiksi biografis (biographical fiction), dan fiksi sains (scince fiction), jika yang menjadi dasa penulisan fakta ilmu pengetahuan.
Kebenaran Fiksi. Ada perbedaan antara kebenaran dalam dunia fiksi dengan dunia nyata. Kebenaran dalam dunia fiksi adalah kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang, yang keabsahannya sesuai dengan pandanganya terhadap masalah hidup dan kehidupan.

2. PEMBEDAAN FIKSI

Dewasa ini, penyebutan untuk karya fiksi fiksi ini lebih ditunukan pada karya yang berbentuk prosa naratif/ teks aratif. Karya lain yang penulisannya tidak berbentuk prosa, misalnya dialog seperti dalam dama atau sandiwara, termasuk skenario dalam film, juga puisi-puisi drama dan puisi balada, pada umunya tidak disebut sebagai karya fiksi.
Dalam penulisan ini istilah dan pengertian fiksi sengaja dibtasi pada karya yang berbentuk prosa, prosa naratif, atau teks naratif. Ini menunjuk pada karya yang berwujud novel, dan cerpen.novel dan cerpen (juga dengan roman) sering dicobabedakan orang, walau tentu saja hal itu lebih bersifat teoritis. Orang jjuga mencobabedakan antara novel serius dengan novel populer-yang ini lebih lagi bersifat teoritis dan tentatif.
Walau demikian, sebenarnya kita tidak dapat menyangkal bahwa karya-karya itu juga mengandung unsur rekaan


a.       Novel dan Cerita Pendek

Novel dan cerpen merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus berbentuk fiksi. Novel berasal dari kata novella (Itali) yang berarti ’sebuah barang baru yang kecil’, dan kemudian diartikan sebagai ’ cerita pendrek dalam bentuk prosa’ (Abrams, 1981: 119). Novella dan novelle mengandung arti sesbuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan.
Perbedaan antara novel dengan cerpen yaang utama dadpat dilihat dari segi formalitas bentuk, segi panjang cerita. Cerita yang panjang sejumlah ratusan halaman tidak dapat disebut sebagai cerpen melainkan novel. (Jassin, 1961: 72) mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam-suatu hal yan kiranya tidak munngkin dilakukan untuk sebuah novel. Ada cerpen yang pendek sekali (short short story) berkisar 500-an kata; cerpen yann panjang cukupan (long short story) yang terdiri dari beberapa puluh ribu kata. Karya sastra yang disebut dengan novelet adalah karya yang lebih pendek dari pada novel, tapi lebih panjangn daripada cerpen.
Novel dan cerpen mempunyai kesamaan, keduanya dibangun oleh unsur-unsur pembangun/ unsur-unsur cerita yan sama, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Novel dan cerpen sama-sama memiliki unsur peristiwa, plot, tema, latar, sudut pandang, tokoh, dll. Namun demkian, terdapat perbedaan intensitas juga kuantitas dalam hal ”pengoprasian” unsir-unsur cerita tersebut.
Novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, lebih banyak, lebih rinci, lebih detail dan lebih banyak melibatkan berbagai permadalahan yang lebih kompleks. Sedangkan kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukaan secara lebih banyak-jadi secara lebih implisit dari sekedar apa yang diceritakakan. Diphak lain, kelebihan novel yang khas adalah kemampuan menyanpaikan permasalahan yang komples secara penuh.
Unsur-unsur pembangun sebuah novel, seperti plot, tema, penokohan dan latar, secara umum dapat dikatakan lebih rinci dan kompleks daripada unsur-unsur cerpen.

b.      Novel Serius dan Novel Populer

Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya kalangan remaja. Ia menampilakn masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Novel populer pada umumnya bersifat artifisial, hanya bersifa sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa prang untuk membacanya sekali lagi.
Novel serius dipihak lain, jusru ”harus” sanggup memberikan yangn serba berkemungkinan, dan itulah sebenarnya makna sastra yang sastra. Membaca novel serius jika kita ingin memahaminya dengan baik, diperlukan daya konsenrtasi yang tinggi disertai kemauan untuk itu.
Novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena ia memangn semata-mata menyampaikan cerita (Stanton,1985:2). Ia tidak berpretensi mengejar efek estetis, melainkan memberikan hiburan langsung dari aksi ceritanya.
Berhubung novel populer lebih mengejar selea pembaca, komersial. Ia tak akan menceritakan sesuatu yang bersifat serius sebab hal itu dapat berarti akan berkurangnya jumlah penggemarnya.
Novel serius tidak bersifat mengabdi kepada selera pambaca, dan memang, pembaca novel jenis ini tidak mungkin banyak. Novel-novel yang dikategorikan sebagai novel serius inilah yang selama ini banyak dibicarakan didunia kritik sastra walau ada juga kritikus yangn secara intensif membahas novel-novel pop.

3. UNSUR-UNSUR FIKSI

Unsur fiksi berikut dilakukan menurut pandangan tradisional dan diikuti pandangan menurut Santon dan Chapman.
a.      Intrinsik dan Ekstrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sebdiri. Unsur yang dimaksud adalah peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut apndang pencitraan, gaya bahasa dan lain-lain.
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada diluar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi sistem organisme karya sastra.
Unsur-unsur menurut Welllek dan Werren antara lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan dan pandangan hidup yang akakn mempengaruhi karyanya.

b.      Fakta, Tema, Sarana Cerita
Fakta dalam sebuah cerita meliputi karakter, plot dan seting. Ketiganya merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan peristiwanya, eksistensinya, dalam sebuah novel. Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius dan sebagainya.
Sarana pengucapan sastra, sarana kesastraan adalah teknik yang digunakan pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang bermakna. Macam sarana sastra yang dimaksud adalah berupa sudut pandang penciitraan, gaya bahasa dan nada, simbolisme, dan ironi.

c.       Cerita dan Wacana
Cerita merupakan isi dari ekspresi naratif, sedangkan wacana merupakan merupakan bentuk dari sesuatu yang diekspresikan. Cerita terdiri dari peristiwa dan wujud keberadaannya, ekksistensinya. Peristiwa itu sendiri dapat berupa tindakan , aksi dan kejadian. Wujud eksistensinya terdiri dari tokoh dan unsur-unsur latar. Wacana merupakan sarana untuk mengungkapkan isi.







KAJIAN FIKSI

1. HAKIKAT KAJIAN FIKSI

Istilah pengkajian yang dipergunakan dalam penulisan ini menyaran pada pengertian penelaahan, penyelidikan. Pengkajian terhadap karya fiksi penelaahan, penyelidikan, atau mengkaji karya fiksi tersebut. Untuk melakukan pengkajian terhadap unsur-unsur pembentuk karya sastra khususny fiksi, disertai olek kerja analisis. Istilah analisis, misalnya analisis karya fiksi, yaitu mengurai karya atas unsur-unsur pembentuknya yang berupa unsur-unsur intrinsik. Analisis merupakan sarana untuk memahami karya-karya kasastraan itu sebagai satu kesatuan yang padu d an bermakna. Dengan adanya analisis, kita akan lebih dapat memahami dan menikmati cerita, tema, pesan-pesan, penokohan, gaya dan hal-hal lain yang diungkapkan dalam karya itu.
Heuristik dan hermeneutik dapat dipandang sebagai hubungan yang bersifat gradasi, sebab kegiatan dan kerja hermeneutik haruslah didahului oleh pembacaah heuristik. Kerja hermeneutik disebut dengan pembacaan retroaktif, memerlukn pembacaan berkali-kali dan kritis.
Kerja heuristik merupakan pembacaan karya sastra pada semiotik tingkat pertama. Ia berupa pemahaman makna sebagaimana yang dikonfensikan oleh bahasa yang bersangkutan.
Cara kerja hermeneutik untuk penafsiran karya sastra, menurut Teeuw dilakukan dengan pemahaman keseluruhan berdasarkan unsusr-unsurnya, dan sebaliknya pemahaman unsur-unsur berdasarkan keseluruhannya.

2. KAJIAN STRUKTURAL

Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Disatu pihak, struktur karya sastra dapat diartika sebagai susunan, penegasan, dan gambarab semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams, 1981: 68).
Strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekata/ penelitian kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antarunsur pembangun karya yang bersangkutan.
Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilalakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Misalnya bagaimana peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar dan sudut pandang dll.
Analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan.





3. KAJIAN SEMIOTIK

Semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Hoed,1992: 2). Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan dll.

  1. Teori Semiotik Peirce

Teori peirce mengatakan sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yangn lain.
Proses pewakilan itu disebut semiosis. Semiosis adalah suatu proses dimana suatu tanda berfungsi sebagai tanda. Proses semiotis yang menuntut kehadiran bersama antara tanda, objek, dan intrpretant itu oleh Peirce disebut sebagai triadaik.

  1. Teori Semiotik Saussure
Bahasa sebagai sebuah sistem tanda, menurut Saussure, memiliki dua unsur yang tak terpisahkan: signifier dan signified, signifiant dan signifi, atau penanda dan petanda. Wujud signifiant (pananda) dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan, sedang signifie (petanda) adalah unsur konseptual, gagasan atau makna yang terkandung dalam penanda tersebut. (Abrams, 1981: 171).
Hubungan Sintagmatik dan Paradikmatik. Hubungan sintagmatik adalah hubungan yang bersifat linear, hubungan konfigurasi, hubungan konstruksi (Todorov, 1985: 12). Hubungan paradigmatik adalah hubungan makkna dan pelambangan, hubungan asosiasif, pertautan makna, antara unsur yang hadir dengan yang tidak hadir.

4. KAJIAN INTERTEKSTUAL

Kajian intertekstul dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks kesastraan, yang diduga mampunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, gaya bahasa, diantara teks yang dikaji. Interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya. Tujuan kajian interteks adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Pemuunculan sebuah karya sering ada kaitanya dengan unsur kesejanteraannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejhteraan itu. (Teeuw, 1983: 62).


5. DEKONSTRUKSI

Dekonstruksi pada hakekatnya merupakan suatu cara membaca sebuah teks yang menummbangkan anggapan bahwa sebuah teks itu memiliki landasan, dalam sistem bahasa yang berlaku, untuk menegaskan struktur, keutuhan dan makna yang telah menentu (Abrams, 1981: 38).
Teori dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah memilliki makna yang passti, tertentu dan konstan, sebagaimana halnya pandangan strukturalismme klasik.
Pembacaan karya sastra, menurut paham dekonstruksi, tidak dimaksudkan untuk menegaskan makna sebagaimana halnya yang lazim dilakukan-sebab, tidak ada makna yang dihadirkan oleh suatu yang sudah menentu-melainkan untuk menemukan makna kontradiktifnya, makna ironisnya.



































TEMA

1.      HAKIKAT TEMA

Tema (theme) menurut Stanton dan Kenny adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita (novel) itu, maka masalahnya adalah: makna khusus yang mana ang dapat dinyatakan sebagai tema itu. Atau, jika berbagai makna itu dianggap sebagai bagian-bagian tama, sub-subtema atau tema-tema tambahan.
Untuk menemukan sebuah tema karya fiksi, ia haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara pasti, bukanlah makna yang ”disembunyikan”, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan ”tersembunyi” dibalik cerita yamg mendukungnya.
Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita.

2.      TEMA: MENGANGKAT MASALAH KEHIDUPAN

Masalah hidup dan kehidupan yang dihadapi dan dialami manusia amat luas dan kompleks, seluas dan sekompleks kehidupan yang ada.
Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema dan atau sub-subtema kedalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksi dengan lingkungan. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan. Melalui karyanya itulah pengarang menawarkan makna tertentu kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat, merasakan dan menghayati makna kehidupan tersebut dengan cara memandang permasalalhan itu sebagaimana ia memandangnya.
Berbagai masalah dan pengalaman kehidupan yang banyak diangkat kedalam karya fiksi, baik berupa pengalaman yang bersifat individu maupun sosial, adalah cinta, kecemasan, dendam, kesombongan, takut, maut, religius, harga diri, dan juga keaetiakawanan, pengkhianatan dan sebagainya.

3.      TEMA DAN UNSUR CERITA YANG LAIN

Tema dalam sebuah karya sastra, fiksi hanyalah merupakan salah satu dari sejumlalh unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah kemenyeluruhan.
Sebuah tema  baru akan menjadi makna cerita jika ada dalam  keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita lainnya. Tema sebuah cerita tidak mungkiin disampaikan secara langsung melalinkan ”hanya secara” implisit melalui cerita.
Unsur-unsur tokoh, plot, latar dan cerita dimungkinkan padu dan bermakna jika diikat oleh sebuah tema. Tokoh-tokoh cerita terutama tokoh utama, adalah pembawa dan pelaku cerita, pembuat dan penderita peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Plot berkaitan erat dengan tokoh cerita. Plot hakikatnya adalah apa yang dilakukan oleh tokoh dan peristiwa yang dialami tokoh. Plot merupakan penyajian secara linear tentang berbagai hal yang berhubungan dengan tokoh, maka pemahaman kita terhadap cerita amat ditentikan oleh plot.
Latar merupakan tempat, saat dan keadaan sosial yang menjadi wadah tepat tokohmelakukan dan dikenai suatu kejadian.latar bersifat memberikan ”aturan” permainan terhadap tokoh. Latar akan mempengeruhi tingkah laku dan cara berfikir tokoh, dan karenanya akan mempengaruhi pemilihan tema.
Kehadiran unsur intrinsik dalam karya fiksi dimaksudkan untuk membangun cerita. Jadi sama halnya dengan tema, eksistensi cerita pun tergantung unsur-unsur lain yang mendukungnya. Tema merupakan dasar cerita dan cerita disusun dan dikembangkan berdasarkan tema.
Dengan demikian, cerita merupakan sarana untuk menyampaikan tema, makna atau tujuan penulisan cerita fiksi itu. Cerita juga dapat diibaraatkan sebagai alat angkut kendaraan, yang berfungsi untuk membawa isi muatan (: tema, makna) untuk disampaikan kepembaca.

4.      PENGGOLONGAN TEMA

a.      Tema Tradisional dan Nontradisional

Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yangn hanya itu-itu saja, dalam arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita termasuk cerita lama. Tema- tema tradisional itu misalnya, berbunyi: kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan; tindak kebenaran atau kejahatan masing-masing akan memetik hasilnya; cinta yang sejati menuntut pengorbanan, dan sebagainya.
Pada umumnya tema tradisional merupakan tema yang digemari orangn dengan status sosial apapun, dimanapun, dan kapanpun. Itu disebabkan karena setiap orang cinta akan kebenaran dan membenci yang sebaliknya, bahkan termasuk orang yang sebenarnya tidak tergolong baik sekalipun.
Selain hal-hal yang bersifat tradisional, tema mungkin saja mengangkat sesuatu yang bersifat nontradisionnal. Karena sifatnya itu, tema yang demikian, munngkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan mengesalkan atau berbagai reaksi afektif yang lain. Berhadapan dengan cerita fiksi, pada umumnya orang mengharapkan yang baik, yang jujur, yang bercinta, atau semua tokoh protagonis akhirnya mengalami kemenangan. Sebaliknya tokoh antagonis memperoleh imbalan yang sesuai. Padahal dalam realitas kehidupan mungkin terjadi. Misalnya koruptor kelas kakap tapi selamat, penyalahgunaan kekuasaan menindas rakyat kecil, penggusuran yangn seenaknya sendiri, dan sbagainya. Cerita fiksi memang berfunsi menghibur, itu tampaknya ingin dijadikan pelarian sejenak untuk melupakan kepahitan kehidupan yang dialami, atau untuk mengkhayalkan tercapainya sesuatu yang diinginkan yang sebenarnya tak peranah dicapai dalam kehidupan nyata.


b.      Tingkatan Tema Menuerut Shipley

Shipley mengartiakan tema sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan kedalam cerita. Shipley membedakan tema karya sastra kedalam tingkatan-tingkatan, sebagai berikut.
1.      tema tingkat fisik, manusia sebagai (dalam tingkat kejiwaan) molekul, man is molecul.
2.      tema tingkat organik, manusia sebagai (dalam tingkat kejiwaan) protoplasma, man is protoplasm.
3.      tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socious.
4.      tema tingkat egoik, manusia sebagai individu,  man as individualism.
5.      tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya.

c.       Tema Utama dan Tema Tambahan

Menemukan tema pokok sebuah cerita pada hakekatnya merupakan aktivitas memilih, mempertimbangkan, menilai, diantara sejumlah makna yang ditafsirkan terkandung dalam karya yang bersangkutan.
Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar, untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan, cerita bukan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita saja. Makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita diidentifikasi sebagai makna bagian, makna tambahan.nmakna tambaha ini disebut dengan tema minor.
Makna-makna tambahan bukan merupakan sesuaatu yang berdiri sendiri, terpisah dari makna pokok cerita yang bersangkutan berhubung sebuah novel yang jadi merupakan satu kesatuan. Makna pokok cerita bersifat merangkum berbagai makna khusus, mana-makna tambahan yang terdapat pada karya itu. Kita bisa mengidentifikasi suatu makan sebagai makna pokok jika dalam perbandingannya dengan makna-makna yang lain dapat ditafsirkan dari makna itu.

6.      PENAFSIRAN TEMA

Penafsiaran tema sebuah novel bukan hal yang mudah. Penulisan sebuah novel didasarkan pada tema atau ide tertentu. Pernyataan tema itu sendiri pada umumnya tidak dikemukakan secara eksplisit. Tema hadir bersama dan berpadu dengan unsur-unsur struktural yang lain sehingga yang ita jumpai dalam sebuah novel hanyalah sebua cerita. Tema tersembunyi dibalik cerita itu.
Berhubung tema tersembunyi dibalik cerita, penafsiran terhadapnya haruslah didasarkan pada fakta-fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita itu. Kita harusalah mulai dengan cara memahami cerita itu, mencari kejelasan ide-ide perwatakan, peristiwa-peristiwa-konflik, dan latar.
Dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel, secara lebih khusus dan rinci, Stanton mengemukakan beberapa kriteria sebagai berikut.
  1. penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan iap detil cerita yang menonjol.
  2. penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detai cerita.
  3. penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-buki yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tak llangsung dalam novel yang bersangkutan.
  4. penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan dalam cerita.

CERITA
1. HAKIKAT CERITA
Membaca sebuah karya fiksi, novel maupun cerpen, pada umumnya yang pertama-tama menarik perhatian orang adalah ceritanya. Faktor cerita inilah terutama yang mempengaruhi sikap dan selera orang terhadap buku yang akan, sedang, atau sudah dibacanya.
1.      CERITA DAN PLOT
Cerita dan plot merupakan dua unsur fiksi yang amat erat berkaitan sehingga keduanya, sebenarnya, tak mungkin dipisahkan. Bhkan lebih dari itu, obyek pembicaraan cerita dan plot boleh dikatakan sama: peristiwa.
2.      CERITA DAN POKOK PERMASALAHAN
Cerita dan pokok permasalahan (subject matter) merupakan suatu hal (baca: permasalahan hidup dan kehidupan) yang diangkat kedalam cerita sebuah karya fiksi.
Isi cerita adalah sesuatu yang dikisahkan dalam sebuah karya fiksi. Ia telah menjadi bagian integral dengan karya yang bersangkutan dan berkaitan erat dengan aspek bentuk.
3.      CERITA DAN FAKTA
Dalam sebuah karya fiksi sering dijumpai peristiwa-peristiwa dan permasalahan yang diceritakan, karena kelihaian dan kemampuan imajinasi pengarang, tampak konkrit dan seperti benar-benar ada dan terjadi.
Kadang dalam fiksi ditopang latar dan tokoh yang meyakinkan,misalnya dikaitkan dengan kebenaran sejarah.
Tulisan dengan data faktual. Tulisan yang dibuat berdasarkan data dan atau informasi faktual.Faktual dan aktual sangat penting karena untuk meyakinkan jika ada kebohongan,atau tak dapat diprtanggungjawabkan maka akan mengurangi kreditibilitasnya.

Tulisan dengan data faktual. Tulisan yang dibuat berdasarkan data dan atau informasi faktual, misalnya, adalah tulisan berita sebagaimana halnya yang biasa dilakukan wartawan untuk surat kabar.

PEMPLOTAN

1.      HAKIKAT PLOT DAN PEMPLOTAN
Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting diantara berbagai unsur fiksi yang lain.
Pengertian plot dan pemplotan. Hal-hal yang dikemukakan diatas kiranya dapat lebih memperjelas perbedaan antara cerita dengan plot seperti dikemukakan Forster. Namun sebenarnya, kisah yang pertamapun mengandung juga unsur kausalita, walau kausalitas yang lebih bersifa logik dan impilsit.
Plot: Misterius Intelektual. Plot sebuah karya fiksi, menurut Forster (1970:94-5), memiliki sifat misterius dan intelektual. Plot menampilkan kejadian-kejadian yang mengandung konflik yang mampu menarik atau bahkan mencekam pembaca.
2.      PERISTIWA, KONFLIK, DAN KLIMAKS
Peristiwa, konflik dan klimaks merupakan tiga unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah plot cerita. Eksistensi plot itu sendiri sangat ditentukan oleh ketiga unsur tersebu.
a.      Peristiwa
Sejauh ini telah berkali-kali disebut istilah peristiwa dan atau kejadian dalam pembicaraan tentang fiksi, namun belum dikemukakan apa sebenarnya peristiwa itu
Peristiwa kaitan adalah peristiwa-peristiwa yang berfungsi mengaitkan peristiwa-peristiwa penting (baca:peristiwa fungsional) dalam pengurutan penyajian cerita (atau: secara plot).
b.            Konflik
Konflik (conflict), yang notabene adalah kejadian yang tergolong penting (jadi, ia akan berupa peristiwa fungsional, utama, atau kernel), merupakan unsur yang esensial dalam pengembangan plot.
Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan (Wellek&Warren, 1989:285).
c.                  Klimaks
Konfliks dan klimaks merupakan hal yang amat penting dalam struktur
Plot, keduanya merupakan unsur utama plot pada karya fiksi. Klimaks menurut Stanton (1965:16), adalah saat konflik telah mencapai tingkat itensitas tertinggi, dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari kejadiannya.

3.                  KAIDAH PEMMPLOTAN
Sebagaimana telah dikemukakan, novel merupkan sebuah karya yang bersifat imajiner dan kreatif. Sifat kreatifitas itu antara lain terlihat pada kebebasan pengarang untuk mengemukakan (baca:menciptakan) cerita, peristiwa, konflik, tokoh, dan lain-lain yang termasuk dalam aspek “material”. Kaidah-kaidah pemplotan yang dimaksud meliputi masalah plausibilitas(plausibility), adanya undur kejutan (surprise), rasa ingin tau (suspense), dan kepaduan (unity) (kenny, 1966:19-22).
a.                  Plausibilitas
Plausibilitas menyaran pada pengertian suatu hal yang dapat dipercaya sesuai dengan logika cerita.plot sebuah cerita haruslah memiliki sifat plausibel, dapat dipercaya oleh pembaca.
b.                  Suspense
Foreshdowing. Jika suspense dipandang mampu memotivasi, menarik, dan mengikat pembaca, ia haruslah dijaga terus-menerus “keberadaannya” dalam sebuah cerita.
c.                   Surprise
Plot sebuh cerita yang menarik, disamping mampu membangkitkan suspense, rasa ingin tahu pembaca, juga mampu memberikan surprise, kejutan, sesuatu yang bersifat mengejutkan.
d.            Kesatupaduan
Plot sebuah karya fiksi, disamping hendaknya memenuhi “kaidah-kaidah” di atas, terlebih lagi harus memiliki sifat kesatupaduan,keutuhan,unity.



4.      PENAHAPAN PLOT
Awal peristiwa yang ditampilkan dalam karya fiksi seperti disinggung diatas, mungkin saja langsung berupa adegan-adegan yang tergolong menegangkan.
a.                  Tahapan Plot: Awal-Tengah-Akhir
Tahap awal. Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi seju,lah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya.
Tahap tengah. Tahap tengah cerita yang dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakinmenegangkan.
Tahap akhir. Tahap akhir sebuah cerita. Atau dapat juga disebut sebagai tahap pelarian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks.
b.                 Tahap Plot
1.           Tahap situation
2.           Tahap generating circumstances
3.           Tahp rising action
4.           Tahap climax
5.           Tahap denouement
c.                  Diagaram Struktur Plot
Tahap-tahap pemplotan seperti diatas dapat juga digambarkan dalam bentuk (gambar) diagram. Diagram struktur yang dimaksud, biasanya, didasarkan pada urutan kejadian dan atau konflik secara kronologis.
5.      PEMBEDAAN PLOT
Plot dapat dikategorikan kedalam beberapa jenis yang berbeda berdasarkan
sudut-sudut tinjauan atau kriteria yang berbeda pula. Pembedaan plot yng diketemukan dibawah ini berdasarkan pada tinjauan dari kriteria urutan waktu, jumllah, dan kapadatan.
a.             Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu
Urutan waktu yang dimaksud adalah waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi yang bersangkutan. Atau lebih tepatnya, urutan penceritaan peristiwa-peristiwa yang ditampilkan.
b.             Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Jumlah
Plot tunggal. Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya hanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis yang sebagai hero.
Plot sub-subplot. Sebuah karya fiksi dapatb saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dan konflik yang dihadapinya.
c.              Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Kepadatan
Plot padat. Disamping cerita disajikan secara tepat, peristiwa-peristiwa fungsional terjadi susul-menyusul dengan cepat, hubungan antar peristiwa juga terjalin secara erat, dan pembaca seolah-olah selalu dipaksa untuk terus-menerus mengikutinya.
Plot longgar. Dalam novel yang berplot longgar, pergantian peristiwa demi peristiwa penting (baca:fungsional) berlangsung lambat disamping hubungan antar peristiwa tersebutpun tidaklah erat benar.
d.             Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Isi
1.      Plot peruntungn
2.Plot tokohan
3.Plot pemikiran

PENOKOHAN
1. UNSUR PENOKOHAN DALAM FIKSI
Pembicaraan mengenai tokoh dengan segala perwatakan dengan berbagai citra jati dirinya, dalam banyak hal,lebih menarik perhatian orang daripada berurusan dengan pemplotannya. Namun hal itu tak berarti unsure plot dapat di abaikan begitu saja karena kejelasan mengenai tokoh dan penokohan dalam banyak hal tergantung pada pemplotannya.
a. Pengertian dan Hakikat Penokohan
Istilah “tokh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Penokohan dan karakterisasi sering juga di samakan artinya dengan karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerit. Atau seperti di katakana oleh Jones (1968:33) penokohan adalahpelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang di tampilkan dalam sebuah cerita.
Penggunaan istilah “karakter” (character) sendiri dalam berbagai literature bahasa inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda yaitu sebagai contoh-contoh cerita yang di tampilkandan sebagai sikap, ketertarikan,keinginan, emosi, dan prinsip moral yang di miliki tokoh-tokoh tersebut (Stanton, 1965:17). Dengan demikian karakter berarti pelaku certa dan dapat pula berarti perwatakan.
Dengan demikian penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan, sebab iasekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerit, bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga memberikan gambaran yang jelas terhadap pembaca.
Kewajaran. Fiksi adalah suatu bentuk karya kreatif, maka bagaimana pengarang mewujudkan dan mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak lepas dari kebebasan kreativitasnya. Tokoh cerita menempati posisi strategissebagai pembawa dan penyampai pesa, amanat, moral atau sesuatu yang sengaja ingin di sampaikan kepada pembaca.
Kesepertihidupan. Seorang tokoh cerita di katakana wajar, relevan, jika mencerminkan dan mempunyai kemiripan dengan kehidupan manusia sesungguhnya(lifelike). Tokoh cerita hendaknya bersifat alami, memiliki sifat kesepertihidupan, paling tidak itulah harapan pembaca. Jika pembaca terlalu mengharapkan tokoh cerita yang bercirikehidupan seperti yang di kenalnyadalam kehidupan nyata, hal itu sebanarnya pendangkalan terhadap karya kesastraan yang sastra dan imajiner.
Tokoh Rekaan versus Tokoh Nyata. Tokoh-tokoh cerita yang di tampilkan dalam fiksi, sesuai dengan namanya, adalah tokoh rekaan, tokoh yang tak pernah ada di dunia nyata. Namun dalam karya tertentu kita juga sering menemukan tokoh-tokoh sejarah tertentu, artinya tokoh manusia nyata bukan rekaan pengarang yang muncul dalam cerita, bahkan mungkan mempengaruhi plot.
b. Penokohan dan Unsur Cerita yang Lain
Fiksi merupakan keseluruhan yang utuh dan memiliki cici artistic. Keutuhan dan keartistikan fiksi justru terletak pada keterjalinannya yang erat antar berbagai unsure pembangunnya. Penokohan mempunyai peranan yang bsar dalam menentukan keutuhan dan keartistikan sebuiah fiksi.
Penokohan dan Pemplotan. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sebenarnya tak ada plot. Plot merupakan sesuatu yang bersifat artificial. Dalam karya fiksiplot memang penting, ia merupakan tuklang punggung cerita. Plot merupakan sekedar sarana untuk memahami perjalanan kehidupantokoh. Atau untuk menunjukan jati diri dan kehidupan tokoh. Penokohan dan pemplotan merupakan dua fakta cerita yang saling mempengaruhi dan menggantunngkan satu dengan yang lainnya.
Penokohan dan Tema. Tema bersifat mengikat dan menyatukan keseluruhanunsur fiksi tersebut. Sebagai unsure utama fiksi, penokohan erat hubungannya dengan tema. Penafsiran tema certa akan selalu mengacu pada tokoh.
c. Relevansi Tokoh
Berhadapan dengan tokoh-tokoh fiksi,pembaca sering memberikan reaksi emotif tertentu seperti merasa akrab, simpati, empati, benci, antipati, atau berbagai reaksi afektif lainnyaa. Seorang tokoh cerita yang ciptaan pengarangjika di sukai banyak orang dalam kehidupan nyata, apalagi sampai di puja dan di gandrungi berarti merupakan tokoh fiksi yang mempunyai relevansi(Kenny, 1966:27). Salah satu bentuk kerelevansian tokoh sering di hubungkan dengan kesepertihidupan.
2. PEMBEDAAN TOKOH
Berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat saja di kategorikan ke dalam beberapa jenis penamaan sekaligus.
a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan di tampilkan terus menerus sehangga tersa mendominasi sebagian besar cerita ada tokoh yang tergolong penting dan di tampilkan sebaliknya, ada tokoh yang di munculkan beberapa kali dalam ceritadan itupun mungkan dalam porsi penceritaan yang relative pendek.
Tokoh utama adalah tokoh yang di utamakan penceritaannyadalam novel yang bersangkutan. Di pihak lain pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak di pentingkan dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama secara langsung ataupun tidak langsung.
Apa yang di kemukakan di atas menunjukan bahwa pembedaan antara tokoh utama dan tambahan tak dapat di lakukan secara eksak. Pembedaan itu lebih bersifat gradasi kadar keutamaan tokoh-tokoh itu bertingkat.
b. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Di lihat dari fungsi penampilan tokoh dapat di bedakan ke dalam tokoh protagonist dan tokoh antagonis. Tokoh protagonist adalah tokoh yang kita kagumi,yang salah satu jenisnya secara popular di sebut hero,tokoh yang merupakan pengewajantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita (Alfenberd&Lewis, 1966:59).
Sebuah fiksi harus mengandung konflik, ketegangan, khususnya konflik dan ketegangan yang dialami oleh tokoh protagonis. Tokoh penyebab terjadinya konfli disebut tokoh antagonis.
c. Tokoh sederhana dan tokoh bulat
Berdasarkan perwatakannya tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat (complex atau round character)
Tokoh sederhana. Tokoh sederhana dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton hanya mencerminkan satu watak tertentu.
Fungsi. Tokoh sederhana seperti dikemukakan di atas tampak kurang sesuai dengan realitas kehidupan sebab tak ada seorangpun yang hanya memiliki satu sifat tertentu. Tokoh bulat dalam sebuah novel biasanya lebih menarik daripada tokoh sederhana.
Tokoh Bulat. Tokoh bulat, kompleks, berbeda halnya dengan tokoh sederhana adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadiannya dan jati dirinya. Dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena disamping memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, ia juga sering memberikan kejutan (Abrams, 1981:20-1).
Tingkap kompleksitas. Pembedaan tokoh cerita ke dalam sederhana dan kompleks sebenarnya lebih bersifat teoretis sebab pada kenyataannya tidak ada ciri perbedaan yang pilah diantara keduanya. Dengan demikian apakah seorang tokoh cerita itu dapat digolongkan sebagai tokoh sederhana atau kompleks, mungkin saja orang berbeda pendapat, Perlu dicatat juga bahwa tokoh sederhana akan mudah dikenal dimanapun dia hadir dan mudah diingat oleh pembaca dan hal ini menurut Forster (1970:76-7) merupakan keuntungan penampilan tokoh tersebut.
d. Tokoh statis dan tokoh berkembang
Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita dalam sebuah novel, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh statis, tak berkembangan dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara essensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi (Altenbernd & Lewis, 1966:58)
Tokoh berkembangan di pihak lain adlah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa plot yang dikisahkan. Dalam penokohan yang bersifat statis dikenal adanya tokoh hitam (dikonotasikan sebagai yokoh jahat) dan putih dikonotasikan sebagai tokoh baik. Pembedaan tokoh statis dan berkembang kiranya dapat dihubumgkan dengan pembedaan tokoh sederhana dan kompleks di atas.
e. Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral
Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit di tampilkan keadaan individualitasnya dan lebih banyak di tonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannyua (Alterberd & Lewis, 1966:60) atau sesuatu yang lain yang bersifat mewakili. Tokoh netral di pihak lainadalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia betul-betul tokoh yang imajiner yang hidup hanya bereksistensi dalam dunia fiksi. Penokohan yang tipikal ataupun yang bukan tipikal berkaitan erat dengan makna , makna intensional, makna yang tersirat yang ingin di sampaikan oleh pengarang kapada pembaca.
3. TEKNIK PELUKISAN TOKOH
Masalah penokohan dalam sebuah karya tak semata-mata hanya berhubungan dengan masalah pemilihan jenis dan perwatakan para tokoh cerita saja, melainkan juga bagaimana juga menuliskan penghadiran dan kehadirannya secara tepat sehingga mampu menciptakan dan mendukung tujuan artistic karya yang bersangkutan.
a.Teknik Ekspositori
Dalam teknik ini penilisan tokoh cerita di lakukan dengan memberikan deskripsi, uraian atau penjelasan secara langsung. Pengarang tidak hanya memperkenalkan latar dan suasana dalam rangka menyituasikan pembaca melainkan juga data-data kedirian tokoh tersebut.
b.Teknik Dramatik
Dalam teknik ini pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplpsit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Kelebihan teknik dramatic adalah sifatnya yang lebih sesuai dengan situasi kehidupan nyata. Kelemahan teknik dramatic adalah sifatnya yang tidak ekonomis. Pembaca akan menggunakan banyak kata untuk menafsirkan kedirian tokoh yang mungkan akan salah tafsir.
Wujud Penggambaran Teknik Dramatik. Berbagai teknik dramatic akan di kemukakan di bawah ini :
(1) Teknik Cakapan
Percakapan yang di lakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga di maksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Percakapan yang baik, yang efektif, yang lebih fungsional adalah yang menunjukkan perkembangan plot dan sekaligus mencerminkan sifat kedirian tokoh pelakunya.
(2) Teknik Tinkah Laku
Teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal, fisik. Dalam sebuah karya fiksi, kadang-kadang tampak ada tindakandan tingkah laku tokoh yang bersifat netral, kurang menggambarkan sikap kediriannya.
(3) Teknik Pikiran dan Perasaan
Perbuatan dan kata-kata merupakan perwujudan konkret tingkah laku pikiran dan perasaan. Teknik pikiran dan perasaan dapat di temukan dalam teknik cakapan dan tingkah laku, artinya penuturan itu sekaligus untuk menggambarkan pikiran dan persaan tokoh.
(4) Teknik Arus Kesadaran
Teknik arus kesadaran berkaitan erat dengan teknik pikiran dan persaan. Keduanya tak dapat di bedakan secara pilah, bahkan mungkin di anggapsama karena memang sama-sam,atingkah laku batin tokoh. Arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran prosesmental tokoh, di mana tanggapan indera bercampur dengan kesadaran dan ketaksadaran pikiran, persaan, ingatan, harapan,dan asosiasi-asosiasiacak (Abrams, 1981:187).
(5) Teknik Reaksi Tokoh Lain
Reaksi tokoh lain di maksudkan sebagai reaksi yang di berikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama atau tokoh yang di pelajari kediriannya yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. Reaksi tokoh juga merupakan teknik penokohan untuk menginformasikan kedirian tokoh kepada pembaca.
(6) Teknik Pelukisan Latar
Pelukisan suasana latar dapat lebih mengintesifkan sifat kedirian tokoh seperti yang telah di ungkapkan dengan berbagai teknik lain. Keadaan latar tertentu memang dapat menimbulkan keadaan tertentu pula di pihak pembaca.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          
(7) Teknik Pelukisan Fisik
Keadaan fisik seseorangsering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu. Pelukisan keadaan fisik tokoh dalam kaitannya dengan penokohan kadang-kadang memang terasa penting untuk mengkonkretkan cirri-ciri kedirian tokoh yang telah di lukiskan dengan teknik lain (Meredith & Fitzgerald, 1972:109).
c. Catatan Tentang Identitas Tokoh
Pada awal cerita pembaca belum mengenal tokoh, melainkan sedikit demi sedikit sejalan dengan kebutuhan dan perkembangan cerita. Identifikasi tokoh dapat di lakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
(1) Prinsip Pengulangan
Sifat kedirian tokoh yang di ulang-ulang biasanya untuk menekankan dan mengintefsifkan sifat yang menonjol sehingga pem baca dapat memahami dengan jelas. Prinsip pengulangan sangat pentinguntuk mengembangkan dan mengungkapkan sifat kedirian tokoh cerita (Luxemburg, 1992:139).
(2) Prinsip Pengmpulan
Pengumpulan data ini penting sebab data-data kedirian yang berserakan itu dapat di gabungkan sehingga bersifat saling melengkapi dan menghasilkan gambaran yang padu tentang kedirian tokoh yang bersangkutan (Luxemburg, 1992:140).
(3) Prinsip Kemiripan dan Pertentangan
Seorang tokoh mungkin saja memiliki kesamaan kedirian dengan tokoh lain namun pasti juga ada perbedaan-perbedaannya. Sebelum kita memperbandingkan, terlebih dahilu kita telah mengidentifilasi perwatakan tokoh dengan mempergunakan prinsip pengulangan dan pengumpulan di atas.      
              Identifikasi tokoh yang mempergunakan prinsip kemiripan dan pertentangan dilakukan dengan memperbandingkan antara seorang dengan tokoh lain dari cerita fiksi yang bersangkutan.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                       

PELATARAN
1.      LATAR SEBAGAI UNSUR FIKSI
a.      Pengertian dan hakikat latar
   Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa – peristiwa yang di ceritakan (Abrams, 1981: 175). Stanton (1965) mengelompokkan latar, bersama tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan
   Latar fisik dan spiritual. Membaca sebuah novel kita akan bertemu dengan lokasi tertentu seperti nama kota, desa, jalan, hotel, penginapan, kamar, dan lain-lain tempat terjadinya perkara.
b.      Latar netral dan latar tipikal
            Latar sebuah karya fiksi barang kali hanya berupa latar yang sekedar latar, berhubung sebuah cerita memang membutuhkan landas tumpu, pijakan. Latar netral tak memiliki dan tak mendeskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol yang terdapat dalam sebuah latar, sesuatu yang justru dapat membedakannya dengan latar-latar lain.
            Unsur latar yang ditekankan perannya dalam sebuah novel, langsung ataupun tak langsung, akan berpengaruh terhadap elemen fiksi yang lain, khususnya alur dan tokoh.
c.       Latar dan Unsur Fiksi Yang Lain
            Pembicaraan diatas sebenarnya telah menunjukkan betapa eratnya kaitan antara latar dan unsur-unsur fiksi yang lain. Latar sebuah karya yang sekedar berupa penyebutan tempat, waktu, dan hubungan sosial tertentu secara umum, artinya bersifat netral, pada umumnya tak banyak berperanan dalam pengembangan cerita secara keseluruhan.

2. UNSUR LATAR
            Unsur latar dapat dibedakan kedalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
a.      Latar Tempat
            Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.
b.      Latar Waktu
            Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.
c.       Latar Sosial
            Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
d.      Catatan Tentang Anakronisme
            Anakronisme menyaran pada pengertian adanya ketidaksesuaian dengan urutan (perkembangan) waktu dalam sebuah cerita. Waktu yang dimaksud adalah waktu yang berlaku dan ditunjuk dalam cerita, waktu cerita, dengan waktu yang menjadi acuannya yang berupa waktu dalam realitas sejarah, waktu sejarah.

3. HAL LAIN TENTANG LATAR
Latar seperti dibicarakan diatas adalah latar sebagai salah satu unsur fiksi, sebagai fakta cerita, yang bersama unsur-unsur lain membentuk cerita.
a.      Latar sebagai metaforik
         Penggunaan istilah metafora menyaran pada suatu pembandingan yang mungkin berupa sifat keadaan, suasana, ataupun sesuatu yang lain. Secara prinsip metafora merupakan cara memandang (menerima) sesuatu melalui sesuatu yang lain.

PENYUDUTPANDANGAN
1.      SUDUT PANDANG SEBAGAI UNSUR FIKSI
a.       Hakikat sudut pandang
Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan : siapa yang memceritakan, atau: dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Dengan demikian, pemilihan bentuk persona yang dipergunakan, disamping mempengaruhi perkembangan cerita dan masalah yang diceritakan, juga kebebasan dan keterbatasan, ketajaman, ketelitian, dan keobjektifan terhadap hal-hal yang diceritakan.
Sudut pandang, point of view, menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams, 1981:142). Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.
b.      Pentingnya Sudut Pandang
Sebelum pengarang menulis cerita, ia harus terlebih dahulu memutuskan memilih sudut pandang tertentu. Ia harus telah mengambil sikap naratif, antara mengemukakan cerita dengan dikisahkan oleh seorang tokohnya, atau oleh seorang narrator yang di luar cerita itu sendiri (Genette, 1980:244).
Pemilihan sudut pandang menjadi sangat penting karena hal itu tak hanya berhubungan dengan masalah gaya saja, walau tak disangkal bahwa pemilihan bentuk-bentuk gramatika dan retorika juga penting dan berpengaruh. Teknik penyajian sudut pandang tertentu akan lebih efektif jika diikuti oleh pemilihan bentuk gramatika dan retorika yang sesuai.
Sudut pandang mempunyai hubungan psikologis dengan pembaca. Pembaca membutuhkan persepsi yang jelas tentang sudut pandang cerita. Pemahaman pembaca terhadap sebuah novel akan dipengaruhi oleh kejelasan sudut pandangnya. pemahaman pembaca pada sudut pandang akan menentukan seberapa jauh persepsi dan penghayatan, bahkan juga penilaiannya terhadap novel yang bersangkutan (Stevick, 1967:86)
c.       Sudut pandang sebagai penonjolan
Pengarang justru memilih sudut pandang tokoh tertentu yang tak lazim, pengarang ingin melihat dan mengemukakn sesuatu dari dimensi yang berbeda, dimensi yang mungkin belum disentuh orang. Pelukisan sesuatu yang di luar kelaziman mungkin sekali justru mampu mengungkapkan hakikat masalah yang dilukiskan itu sendiri secara lebih meyakinkan.
2.      MACAM-MACAM SUDUT PANDANG
  1. Sudut Pandang Persona ketiga : “Dia”
Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narrator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Hal ini akan mempermudah pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak.
1)      “Dia” Mahatahu
Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun pengarang dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut.
2)      “Dia” terbatas, “Dia” sebagai pengamat
Dalam sudut pandang “dia” terbatas, seperti halnya dalam “dia” mahatahu, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikit, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja (Stanton, 1965:26), atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas (Abrams, 1981:144).
Dalam sudut pandang “dia” sebagai pengamat yang benar-benar objektif, narator bahkan hanya dapat melaporkan segala sesuatu yang dapat dilihat dan didengar, atau yang dapat dijangkau oleh indera. Namun, walau ia hanya melaporkan secara apa adanya, kadar ketelitiannya heruslah diperhitungkan, khususnya tindakan, latar, sampai ke detail-detail terkecil yang khas.



  1. Sudut Pandang Person Pertama: “Aku”
Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona pertama, first person point of view, “aku”, jadi: gaya “aku”, narrator adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita.
1)      “Aku” Tokoh Utama
Dalam sudut pandang teknik ini, si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik, hhubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya. Si “aku” menjadi fokus, pusat kesadaran, pusat cerita.
2)      “Aku” Tokoh Tambahan
Dalam sudut pandang ini tokoh “aku” muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan, first person peripheral. Tokoh “aku” hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedang tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian dibiarkan untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Dalam hal ini si”aku” pada umumnya tampil sebagai pengantar dan penutup cerita.
  1. Sudut Pandang Campuran
Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel mungkin saja lebih dari satu teknik. Penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran itu di dalam sebuah novel, mungkin berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik “dia” mahatahu dan “dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik “aku” sebagai tokoh utama dan “aku” tambahan atau sebagai saksi, bahkan dapat berupa campuran antara persona pertama dan ketiga, antara “aku” dan “dia” sekaligus.
Ternyata untuk jenis sastra fiksi, teknik penyudutpandangan tersebut terasa mampu memberikan efek kebaruan, angina segar yang tak membosankan bagi pencerapan indera kita, suatu bentuk pengucapan yang oleh kaum formalis disebut sebagai sifat deotomatisasi sastra.







BAHASA
1        BAHASA SEBAGAI UNSUR FIKSI
Sastra, khususnya fiksi, disamping sering disebut dunia dalam kemungkinan, juga dikatakan sebagai dunia dalam kata. Hal itu desebabkan “dunia” yang diciptakan, dibangun, ditawarkan, disebabkan, dan sekaligus ditafsirkan lewat kata-kata, lewat bahasa.
a.       Bahasa Sastra : Sebuah Fenomena
Pada umumnya orang beranggapan bahwa sastra berbeda dengan bahasa nonsastra, bahasa yang dipergunakan bukan dalam (tujuan) pengucapan sastra. Beberapa ciri bahasa sastra yang dikemukakan beberapa orang berikit akan sedikit disimnggung. Bahasa sastra mungkin dicirikan sebagai bahasa (yang mengandung unsur) emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa nonsastra, khususnya bahasa ilmiah, yang rasional dan denotatif. Demikian pula halnya dengan makna denitatif dan konotatif. Bahasa sastra tak mingkin secara mutlak menyaran pada makna konotatif tanpa melibatkan sama sekali makna denotatif.
Bahasa sastra, menurut kaum Formalis Rusia, adalah bahasa yang mempunyai ciri deotomatisasi, penyimpangan dari cara penuturan yang bersifat otomatis, rutin, biasa, dan wajar. Sastra mengutamakan keaslian pengucapan, dan untuk memperoleh cara itu mengkin sampai pada penggunaan berbagai bentuk penyimpangan, deviasi (deviation) kebahasaan. Penyimpangan dalam bahasa sastra dapat dilihat secara sinkronik, penyimpangan dari bahasa sehari-hari, dan secara diakronik, penyimpangan dari karya sastra sebelumnya. Pengarang melakukan penyimpangan kebahasaan, tentunya bukan semata-mata bertujuan ingin aneh, lain daripada yang lain, melainkan dimaksudkan untuk memperoleh efek keindahan yang lein di samping juga ingin mengedepankan, mengaktualkan (foreground) sesuatu yang dituturkan.
Kebebasan menyimpangi bahasa sastra bukannya tak terbatas. Bahasa adalah sebuah sistem tanda yang telah mengkovensi. Perlu dicatat bahwa yang membedakan sebuah karya itu menjadi sastra, fiksi atau puisi, dengan yang bukan sastra, pertama-tama tidak dicirikan oleh unsur kebahasaannya. Pembedaan itu lebih ditentukan oleh konvensi (: konvensi kesastraan), konteks, dan bahkan harapan pembaca.
b.      Stile dan Stilistika
(1)   Stile dan hakikat Stile
Stile, (style, gaya bahasa) adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapan sesuatu yang prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams, 1981: 190-1). Stile ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain.
Istilah style sengaja tidak di Indonesiakan menjadi gaya bahasa melainkan hanya dimodifikasi menjadi ‘stile’. Hal itu segaja dilakukan karena sejalan dan untuk menjaga konsistensi pengindonesiaan istilah stylistics yang juga hanya dimodifikasi menjadi ;stilistika’, dan bukan ‘kajia tentang gaya bahasa’. Jadi, pengindonesiaan style menjadi ‘stile’ identik dengan pengindonesiaan stylistics menjadi’stilistika’ yang berterima di masyarakat. Stile pada hakikatnya merupakan teknik, teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Stile : Masalah Stuktur lahir. Bentuk ungkapan kebahasaan seperti yang terlihat dalam sebuah novel merupakan suatu bentuk performasi (kinerja) kebahasaan seorang pengarang. Stile atau wujud performasi kebahasaan, hadir kepada pembaca dalam sebuah fiksi melalui proses penyeleksian dari berbagai bentuk linguistik yang berlaku dalam sistem bahasa itu.
(2)   Stilistika dan Hakikat stilistika
Stilistika (stylistics) menyaran pada pengertian studi tentang stile (Lecch & Short, 1981: 13). Analisis stilistika lebih dimaksudkan untuk menerangkan sesuatu, yang pada umumnya dalam dunia kesastraan untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan dungsi artistik dan makanannya (Leech & Short, 1981: 13; Wellek & Warren, 1956: 180). Tujuan analisis stilistik kesastraan, misalnya, dapat dilakukan dengan (mengajukan dan) menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: “mengapa pengarang dalam mengekspresikan dirinya justru memilih cara yang khususnya”?Analisis dilakukan dengan mengkaji berbagai bentuk dan tanda-tanda linguistik yang dipergunakan seperti terlihat dalam struktur lahir. Dengan cara ini akan diperoleh bukti-bukti konkret tentang stile sebuah karya. Metode (teknik) analisis ini akan menjadi penting karena dapat memberikan informasi tentang karakteristik khusus sebuah karya. Tanda-tanda stilistika itu sendiri dapat berupa (a) fonologi, misalnya pola suara ucapan dan irama, (b) sintaksis, misalnya jenis struktur kalimat, (c) leksikal, misalnya penggunaan kata abstrak atau konkret. frekuensi penggunaan kata benda, kerja, sifat, dan (d) penggunaan bahasa figuratif, misalnya bentuk-bentuk pemajasan, permainan struktur, pencitraan, dan sebagainya.
Estetika ataukah Linguistik. Kajian stilistika juga dimaksudkan untuk menunjukkan hubungan antara apresiasi estetis (perhatian kritikus) di satu-pihak dengan deskripsi linguistik (perhatian linguis) di pihak lain. Dualisme, Monisme, dan Pluralisme. Stile biasanya diidentifikasikan sebagai perbedaan antara apa yang dikatakan dengan bagaimana cara mengatakan, atau antara isi dengan bentuk teks. Masalah stile adalah masalah pilihan cara pengungkapan (bahasa) yang tak perlu melibatkan isi. Pendekatan analisis pluralisme mendasarkan diri pada fungsi-fungsi bahasa, misalnya fungsi bahasa menurut Jakobson yang terdiri dari enam macam: referensial, emotif, konitif, patik, puitik, dan metalinguistik, atau fungsi menurut Halliday yang terdiri dari tiga fungsi: ideasional, tekstual, dan interpersonal.
Analisis Stilistika: Metode Kuantitaif. Berbagai tanda linguistik yang terwujud dalam bentuk ungkapan bahasa sebuah fiksi, seperti dikemukakan di atas, menjadi sarana pembentuk stile, dan hal itulah yang menjadi objek analisis stilistika. Tanda-tanda linguistik yang dipergunakan dalam sebuah karya banyak sekali—misalnya berbagai tanda yang berhubungan dengan unsur leksikal, gramatikal, dan bahasa figuratif—yang belum tentu semuanya relevan dengan tujuan analisis stilistik. Atau bahkan sebaliknya, kita tak mungkin mencatat (dan menghitung) semua data linguistik yang ada karena terlalu beragam dan kompleks. Oleh karena itu, dalam analisis kuantitatif stilistika, kita perlu memilih dan menentukan tanda-tanda linguistik yang dihitung dan diteliti. Analisis stilistik yang mencoba memusatkan perhatian pada tanda-tanda stile tertentu sehingga terlepas dari sistem linguistik yang melingkupinya, terlepas dari konteksnya, kurang dapat diterima karena hasilnya pun akan kurang bermakna.
c.       Stile dan Nada
Membaca sebuah novel biasanya kita akan merasakan adanya nada (dan suasana) tertentu yang tersirat dari novel tersebut, khususnya yang disebabkan oleh efek pemilihan ungkapan bahasa. Nada (tone), nada pengarang (authorial tone), dalam pengertian yang lugs, dapat diartikan sebagai pendirian atau sikap yang diambil pengarang (tersirat, implied author) terhadap pembaca dan terhadap (sebagian) masalah yang dikemukakan. Nada memang ada hubungannya dengan intonasi, lagu, dan tekanan kalimat, walau dalam bahasa tulis sekalipun. Orang yang membaca sebuah novel, walau hanya dalam hati, akan memberikan intonasi secara berbeda terhadap kalimat-kalimat dengan ekspresi yang berbeda pula. Jika dalam sebuah karya fiksinya pengarang mengekspresikan sikap, baik terhadap masalah maupun pembaca, pembaca pun dapat pula memberikan reaksi yang sama. Artinya, pembaca dapat menanggapi sikap pengarang yang terekspresi dalam karya itu dengan sikapnya sendiri. Keseimbangan tersebut oleh Leech & Short (1981:281) dilukiskan dalam bentuk gambar berikut.


2        UNSUR STILE
Stile sebuah novel, yang berupa wujud pengungkapan bahasa seperti dikemukakan di atas, mencakup seluruh penggunaan unsur ahasa dalam novel itu termasuk unsur grafologisnya. Unsur stile, engan demikian, berupa berbagai unsur yang mendukung terwujudnya untuk lahir pengungkapan bahasa. tersebut.
Kajian stile sebuah novel biasanya dilakukan dengan enganalisis unsur-unsurnya, khususnya untuk mengetahui kontribusi asing-masing unsur untuk mencapai efek estetis dan unsur apa saja yang dominan. Leech & Short (1981: 75-80) mengemukakan bahwaunsur stile (ia memakai istilah stylistic categories) terdiri dari unsur (kategori) leksikal, gramatikal, figures of speech, dan konteks dan kohesi. Analisis unsur stile, misalnya, dilakukan dengan mengidentifikasi masing-masing unsur dengan tanpa mengabaikan konteks, menghitung frekuensi kemunculannya, menjumlahkan, dan kemudian menafsirkan dal mendeskripsikan kontribusinya bagi stile karya fiksi secara keseluruhan.
a.      Unsur Leksikal
Unsur leksikal yang dimaksud sama pengertiannya dengan diksi, yaitu yang mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata. tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang. Masalah ketepatan itu sendiri secara sederh dapat dipertimbangkan dari segi bentuk dan makna, yaitu apakah diksi mampu mendukung tujuan estetis karya yang bersangkutan, mampu mengkomunikasikan makna, pecan, dan mare mengungkapkan gagasan seperti yang dimaksudkan oleh pengarang.
Pilihan kata juga berhubungan dengan masalah sintagmatik dan paradigmatik. Sintagmatik berkaitan dengan hubungan antarkata secara Tinier untuk membentuk sebuah kalimat. Paradigmatik berkaitan dengan pilihan kata di antara sejumlah kata yang berhubungan secara makna.
Untuk keperluan analisis leksikal sebuah karya fiksi, kita dapat melakukannya berdasarkan tinjauan secara umum dan jenis kata, yang keduanya bersifat Baling melengkapi.
Untuk tinjauan secara umum, kita dapat mengidentifikasi kata­kata dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.
(1)   Kata yang dipergunakan sederhana atau kompleks?
(2)     Kata dan ungkapan formal atau kolokial, artinya kata-kata baku—bentuk dan makna—ataukah kata-kata seperti dalam percakapan sehari-hari yang nonformal, termasuk penggunaan.
(3)     Kata dan ungkapan dalam bahasa karya yang bersangkutan atau dari bahasa lain, misalnya dalam karya fiksi Indonesia apakah mempergunakan kata dan ungkapan bahasa Indonesia atau dari bahasa lain, misalnya Jawa dan acing?
(4)     Bagaimanakah arah makna kata yang ditunjuk, apakah bersifat referensial ataukah asosiatif, denotasi ataukah konotasi?
Identifikasi berikutnya adalah berdasarkan jenis kata. Identifikasi ini sebenamya dapat langsung dikaitkan dengan yang di atas mengingat bahwa identifikasi sifat umum di atas jugs dilakukan untuk tiap jenis kata. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan antara lain sebagai berikut.
(1)     Apakah jenis kata yang dipergunakan itu?, dan kemudian diikuti pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang sesuai dengan jenis kata yang bersangkutan.
(2)     Kata benda, sederhana ataukah kompleks, abstrak ataukah konkret? Jika abstrak menyaran pada  makna apa, kejadian, persepsi. proses, kualitas moral, atau social? Jika konkret menunjuk pada  spa. misalnyabenda, makhluk, ataukah manusia?
(3)     Kata kerja, sederhana ataukah kompleks, transitif ataukah intransitif, makna menyaran pada  pernyataan, tindakan, ataukah peristiwa, atau yang lain?
(4)     Kata sifat, untuk menjelaskan apa, misalnya sesuatu yang bersifat fisik, psikis, visual, auditif, referensial, emotif, ataukah evaluatir
(5)     Kata bilangan, tentu ataukah tak tentu, dan untuk menjelaskan apa?
(6)     Kata tugas, apa wujudnya, misalnya: dan, atau, lalu. kemudian, pada, tentang, yang wring dikelompokkan ke dal konjungsi dan preposisi.
b.      Unsur Gramatikal
Unsur gramatikal yang dimaksud menyaran pada pengertian struktur kalimat. Oleh karena dalam sastra pengarang mempunyai kebebasan penuh dalam mengkreasikan bahasa, adanya berbagai bentuk penyimpangan kebahasaan, termasuk penyimpangan struktur kalimat, menipakan hal yang wajar dan wring terjadi. Ada tidaknya penyimpanan struktur kalimat merupakan satu unsur yang dapat dikaji kita bermaksud menganalisis unsur gramatikal.
Kegiatan analisis kalimat, dapat dilakukan terhadap hal-hal atau dengan cara-cara berikut, baik hanya diambil sebagian maupun seluruhnya, bahkan dipandang perlu dapat ditambah dengan unsur lain.
(1)     Kompleksitas kalimat: sederhana ataukah kompleks struktur kalimat yang dipergunakan, bagaimana keadaannya secara keseluruhan?
(2)     Jenis kalimat: jenis kalimat apa sajakah yang dipergunakan: kalimat deklaratif (kalimat yang menyatakan sesuatu), kalimat imperatif (kalimat yang mengandung makna perintah atau larangan), kalimat interogatif (kalimat  yang mengandung makna pertanyaan), kalimat minor (kalimat yang tak lengkap fungtor­fungtornya, mungkin berupa minor berita, perintah, tanya, atau sera)?
(3)     Jenis klausa dan frase: klausa dan frase apa sajakah yang menonjol, sederhana ataukah kompleks? Jenis klausa dan frase.
c.       Retorika
Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis. Retorika, pada dasarnya, berkaitan dengan pembicaraan tentang dasar-dasar penyusunan sebuah wacana yang efektif. Retorika, dengan demikian, sebenarnya berkaitan dengan pendayagunaan semua unsur bahasa, balk yang menyangkut masalah pilihan kata dan ungkapan, struktur kalimat, segmentasi, penyusunan dan penggunaan bahasa kias, pemanfaatan bentuk citraan, dan lain-lain yang semuanya disesuaikan dengan situasi dan tujuan penuturan. Unsur stile yang berwujud retorika itu, sebagaimana dikemukakan Abrams (1981: 193) di atas, meliputi penggunaan bahasa figuratif (figurative language) dan wujud pencitraan (imagery). Bahasa figuratif itu sendiri menurut Abrams (1981: 63) dapat dibedakan ke dalam (1) figures of thought atau tropes, dan (2) figures of speech, rhetorical figures, atau schemes. Yang pertama menyaran pada penggunaan unsur kebahasaan yang menyimpang dari makna yang harfiah dan lebih menyaran pada makna literal (literal meaning), sedang yang kedua lebih menunjuk pada masalah pengurutan kata, masalah permainan struktur.


(1)   Pemajasan
Pemajasan (figure of speech) merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat. Pengungkapan gagasan dalam dunia sastra—sesuai dengan sifat alami sastra itu sendiri yang ingin menyampaikan sesuatu secara tak langsung—banyak mendayagunakan pemakaian bentuk-bentuk bahasa kias itu.
Penggunaan stile yang berwujud pemajasan, apalagi dalam puisi. memang, mempengaruhi gaya dan keindahan bahasa karya yang bersangkutan. Namun, penggunaan bentuk-bentuk bahasa kias terse2t haruslah tepat. Artinya, is haruslah dapat menggiring ke arah interpretasi pembaca yang kaya dengan asosiasi-asosiasi, di samping juga dapat mendukung terciptanya suasana dan nada tertentu. Gaya retoris adalah gaya bahasa yang maknanya hares diartikan menurut nijai lahirnya. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa yang mengandung unsur kelangsungan makna. Sebaliknya. gaya bahasa kiasan adalah gaya bahasa yang maknanya tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan makna kata-kata yang membentuknya. Bentuk-bentuk pemajasan yang banyak dipergunakan pengarang adalah bentuk perbandingan atau persamaan, yaitu yang membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain melalui ciri-ciri kesamaan antara keduanya, misalnya yang berupa ciri fisik, sifat, sikap, keadaan, suasana, tingkah lake, dan sebagainya. Bentuk perbandingan tersebut dilihat dari sifat kelangsungan pembandingan persamaannya dapat dibedakan ke dalam bentuk simile, metafora, dan personifikasi.
Simile menyaran pada adanya perbandingan yang langsung dan eksplisit, dengan mempergunakan kata-kata tugas tertentu sebagai penanda keeksplisitan seperti: seperti, bagai, bagaikan, sebagai, laksana, mirip, dan sebagainya. Metafora, di pihak lain, merupakan gaya perbandingan yang bersifat tak langsung dan implisit. Personifikasi merupakan gaya bahasa yang memberi sifat-sifat benda mati dengan sifat-sifat seperti yang dimiliki manusia sehingga dapat bersikap dan bertingkah laku sebagaimana halnya manusia. Jadi, personifikasi pun dapat dipandang sebagai gaya bahasa yang mendasarkan diri pada adanya sifat perbandingan dan persamaan. Berbeda halnya dengan simile dan metafora yang dapat membandingkan dua hal yang menyangkut apa saja sepanjang dimungkinkan, pembanding dalam personifikasi haruslah manusia dan atau sifat-sifat manusia.
Gaya pemajasan lain yang kerap ditemui dalam berbagai karya sastra adalah metonimi, sinekdoke, hiperbola, dan paradoks. Metonimi merupakan sebuah yang menunjukkan adanya pertautan atau pertalian yang dekat. Sinekdoke­yang berasal dari bahasa Yunani synekdechsthai yang berarti "menerima bersama-sama"—merupakan gaya yang juga tergolong gaya pertautan,,'mempergunakan sebagian untuk menyatakan keseluruhannya (pars pro toto), atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte). Hiperbola, di pihak lain, merupakan suatu cara penuturan yang bertujuan menekankan maksud dengan sengaja melebih-lebihkannya. Gaya paradoks, sebaliknya, adalah cara penekanan penuturan yang sengaja menampilkan unsur pertentangan di dalamnya.
(2)   Penyiasatan Struktur
Sama halnya dengan pemajasan yang dipandang orang sebagai salah satu bentuk stile, pendayagunaan struktur kalimat pun menghasilkan satu bentuk stile yang lain. Yang pertama menekankan pengungkapan melalui penyiasatan makna, sedang yang kedua penyiasatan struktur. Dalam kaitannya dengan tujuan mencapai efek retoris sebuah pengungkapan, peranan penyiasatan struktur (rhetorical figures atau figure of specch) tampaknya lebih menonjol daripada pemajasan. Namun, keduanya pun dapat digabungkan. Pemajasan disampaikan melalui struktur yang bervariasi, struktur yang disiasati, sehingga dari segi ini pun akan terasa bare dan segar. Sebaliknya, bangunan struktur kalimat pun dapat untuk menekankan penyampaian pecan, baik yang bersifat langsung maupun kiasan. Dengan demikian, sebuah kalimat penuturan dapat saja mengandung gaya pemajasan sekali-gus gaya penyiasatan struktur. Gaya penuturan yang demikian biasanya dapat lebih memberikan kesan retoris sekaligus kaya dengan asosiasi makna.
Gaya bahasa yang banyak dipergunakan orang adalah yang berangkat dari bentuk pengulangan, baik yang berupa pengulangan kata, bentukan kata, frase, kalimat, maupun bentuk­bentuk yang lain, misalnya gaya repitisi, paralelisme, anafora, polisindenton, dan asindenton, sedangkan bentuk-bentuk yang lain misalnya antitesis, alitrasi, klimaks, antiklimaks, dan pertanyaan retoris.
Repetisi dan anafora merupakan dua bentuk gaga pengulangan dengan menampilkan pengulangan kata atau kelompok kata yang sama. Paralelisme, di pihak lain, menyaran pada penggunaan bagian­bagian kalimat yang mempunyai kesamaan struktur gramatikal (dan menduduki fungsi yang sama pula) secara berurutan. Penggunaan bentuk paralelisme dimaksudkan untuk menekankan adanya kesejajaran bangunan struktur yang menduduki posisi yang sama dan mendukung gagasan yang sederajat.
Ada gaya lain yang mirip dengan, atau juga mempergunakan unsur, paralelisme, namun justru dimaksudkan untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang bertentangan. Bentuk itu biasanya disebut sebagai gaya antitesis. Dua gaya bentuk pengulangan yang lain adalah polisindenton dan asindenton. Bentuk pengulangan pada polisindenton adalah berupa penggunaan kata tugas tertentu, misalnya kata “dan” sedang pada asindenton bentuk pengulangan itu berupa penggunaan pungtuasi yang berupa “tanda koma”. Penggunaan bentuk alitrasi dalam karya sastra tampaknya juga dapat dikaitkan dengan bentuk pengulangan. Bentuk penuturan alitrasi adalah penggunaan kata-kata yang sengaja dipilih karena memiliki kesamaan fonem-konsonan, baik yang berada di awal maupun di tengah kata. Penggunaan alitrasi terlihat intensif pada karya puisi, namun itu tak berarti tak-pernah dimanfaatkan dalam fiksi.
Bentuk penyiasatan struktur yang lain adalah gaya klimaks dan antiklimaks. Kedua bentuk itu dimaksudkan mengungkapkan dan menekankan gagasan dengan cara menampilkannya secara berurutan.
(3)   Pencitraan
Dalam dunia kesastraan dikenal adanya istilah citra (image) dan pencitraan (imagery) yang keduanya menyaran pada adanya reproduksi mental. Citra merupakan sebuah gambaran pengalaman indera yang diungkapkan lewat kata-kata, gambaran berbagai pengalaman sensoris yang dibangkitkan oleh kata-kata. Macam pencitraan itu sendiri meliputi kelima indera manusia : citraan penglihatan (visual), pendengaran (auditoria), gerakan (kinestetik), rabaan (taktil termal), dan penciuman (olfaktori), namun pemanfaatannya dalam sebuah karya tak sama intensitasnya. Pencitraan merupakan suatu gaya penuturan yang banyak dimanfaatkan dalam penulisan sastra.
Contoh pengungkapan yang mengandung pencitraan, misalnya dalam baris-baris kalimat novel Burung-burung Manyar yang dikutip di atas: "Dan dengan enaknya tanpa tabu malu perempuan-perempuan itu turun, membalik, mengangkat kain hingga pantat mereka menonjol serba pekik kemerdekaan. Tanpa tergesa-gesa kedua bola merdeka itu dicelup di dalam air, sambil omong-omong dengan rekannya. Biasanya pantat-pantat itu putih dan mulus halus". Analisis pencitraan terhadap sebuah karya fiksi dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mirip dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada gaga pemajasan (dan penyiasatan struktur) di atas.
d.      Kohesi
Hubungan ini mungkin bersifat eksplisit yang ditandai oleh adanya kata penghubung, atau kata­kata tertentu yang bersifat menghubungkan, namun mungkin juga hanya berupa hubungan kelogisan, hubungan yang disimpulkan (oleh pembaca) (infered connection), hubungan implisit. Hubungan tersebut dalam ilmu bahasa disebut kohesi (cohesion, keutuhan). Untuk mengungkapkannya dalam sebuah karya yang sekaligus mendukung tujuang estetis.
Penggunaan kohesi rujuk-silang sebagai sarana memperoleh efek estetis dalam karya sastra biasanya ditempuh melalui dua carat (1) pengulangan ekspresif (expressive repetition) dan (2) variasi anggun, variasi elegan (elegant variation) (Uech & Short, 1981: 247). Wujud pengulangan ekspresif adalah pengulangan formal. Pengulangan itu sendiri merupakan suatu bentuk penekanan makna dan kesan emotif, ekspresif, di camping juga untuk memperkuat sifat paralelistis kalimat.
3        PERCAKAPAN DALAM NOVEL
a.       Narasi dan Dialog
Sebuah karya fiksi umumnya dikembangkan dalam dua bentuk penuturan: narasi dan dialog. Kedua bentuk tersebut hadir secara bergantian sehingga cerita yang ditampilkan menjadi tidak bersifat monoton, terasa variatif, dan segar. Pengungkapan bahasa dengan gaya narasi —dalam hal ini yang saga maksudkan adalah semua penuturan yang bukan bentuk percakapan— sering dapat menyampaikan sesuatu secara lebih singkat dan langsung. Artinya, pengarang mengisahkan ceritanya secara langsung, pengungkapan yang bersifat menceritakan, telling. Dalam pengungkapan bahasa bentuk percakapan, seolah-oleh pengarang membiarkan pembaca untuk melihat dan mendengar sendiri kata-kata seorang tokoh, percakapan antartokoh, bagaimana wujud kata-katanya dan apa isi percakapannya. Penuturan bentuk dialog tak mungkin hadir sendiri tanpa disertai (atau menyatu dengan) bentuk narasi. sebaliknya, bentuk narasi dapat hadir tanpa dialog, walau mungkin terasa dipaksakan, misalnya dalam sebuah cerita yang relatif pendek.
b.      Unsur Pragmatik dalam Percakapan
Percakapan yang hidup dan wajar, walau hal itu terdapat dalam sebuah novel, adalah percakapan yang sesuai dengan konteks pemakaiannya, percakapan yang mirip dengan situasi nyata penggunaan bahasa. Bentuk percakapan yang demikian bersifat pragmatik. Ketepatan penggunaan bahasa secara pragmatik tak semata-mata dilihat dari ketepatan leksikal dan sintaksis, melainkan juga ketepatannya sesuai dengan konteks pembi­caraan. Untuk memahami sebuah percakapan yang memiliki konteks tertentu, kita tak dapat hanya mengandalkan pengetahuan leksikal dan sintaksis saja, melainkan hares pula disertai dengan interpretasi pragmatik (Leech & Short, 1981: 290).
Kontribusi adanya nosi implikatur dalam kegiatan berbahasa adalah is mampu memberikan makna secara lebih dari sekedar apa yang dikatakan pembicara. Novel dapat menghadirkan konteks situasi yang berbisaca macam: resmi, formul, setius, santai, akrab, atau yang lain. Percekapan yang menyertai situs-situ tersebukan.
c.       Tindak Ujar
Konsep yang menghubungkan antara makna percakapan dengan konteks, adalah konsep tindak ujar (speech acts), sebuah konsep yang dikembangkan oleh Austin (1962) dan Searle (1969) (lewat Leech & Short, 1981: 290). Austin membedakan penampilan tindak ujar ke dalam tiga macam tindak, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Tindak bahasa lokusi (locutionary speech acts) adalah suatu bentuk ujaran yang mengandung makna adanya hubungan antara subjek dengan predikat, pokok dengan sebutan, atau antara topik dengan penjelasan.
Tindak ujar ilokusi bentuk-bentuk ujaran berdasarkan intonasi kalimat. Dalam konteks ketatabahasaan, kita kenal adanya intonasi kalimat (baca: intonasi ujaran) berita atau pernyataan, tanya, perintah, permohonan, atau intonasi kalimat yang lain. Berdasarkan konsep ini, sebuah kalimat ujaran dapat dimasukkan ke dalam jenis-jenis tertentu tindak ujar ilokusi walau mungkin saja makna yang disarankan kurang lebih sama. Berdasarkan konsep bahwa tindak ujar ilokusi membedakan bentuk ujaran berdasarkan intonasi kalimat, sebuah kalimat ujaran dapat saja dimasukkan ke dalam jenis-kenis tertentu tindak ilokusi yang berbeda walau secara makna kurang lebih sama.
Tindak bahasa perlokusi (perlocutionary speech acts) melihat pada adanya suatu bentuk pengucapan yang menyaran pada makna yang lebih dalam, yang tersembunyi di balik ucapan itu sendiri. Jadi, berbeda halnya dengan tindak ujar lokusi dan ilokusi yang telah tertentu tinjauannya, tindak perlokusi lebih mengandalkan kemampuan penafsiran pembaca. Analisis percakapan dalam sebuah novel dari segi tindak ujar, juga dapat dipandang sebagai analisis stile karya yang bersangkutan, khususnya stile yang berwujud gaga dialog. Analisis yang demikian adalah analisis yang berdasarkan interpretasi pragmatik.

MORAL
1.       UNSUR MORAL DALAM FIKSI
a.                  Pengertian dan Hakikat Moral
     Secara umum moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima untuk mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; ahklak, budi pekerti, susila (kbbi 1994). Karya sastra, fiksi, senantiasa menawarkan pesan moral yang berhuungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia.
b.                  Jenis dan Wujud Pesan Moral
     Jenis ajaran moral itu sendiri dapt mencakup masalah yang boleh dikatakan, bersifat terbatas. Ia dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia.

2.      PESAN RELIGIUS DAN KRITIK SOSIAL
     Pesan moral yang berwujud moral religius, termasuk didalamnya yang bersifat keagamaan, dan kritk sosial banyak ditemukan dalam karya fiksi atau dalam genresastra yang lain.
a.                     Pesan Religius dan Keagamaan
     Kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah setua keberadaan sastra itu sendiri.
b.                     Pesan Kritik Sosial
     Hampir semua novel Indonesia sejak awal pertumbuhannya hingga dewasa ini, boleh dikatakan, mengandung unsur pesan kritik sosial walaupun dengan tingkat intensitas yang berbed.

3.       BENTUK PENYAMPAIAN PESAN MORAL
     Secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin bersifat langsung, atau sebaliknya tak langsung.
a.      Bentuk Penyampaian Langsung
Bentuk penyampaian moral yang bersifat langsung, boleh djkatkan identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling, atau penjelasan, expositoy.
b.      Bentuk Penyampaian Tidak Langsung
Jika dibandingkan dengan bentuk sebelumnya, bentuk penyampaian pesan moral disini bersifat tidak langsung. Pesan itu hanya tersirat dalam cerita, berpadu secaradengan  keherensif  dengan unsur-unsur cerita yang lain. Walau betul pengarang ingin menawarkan dan menyampaikan sesuatu, ia tidak mmenyampaikannya secara serta-merta dan vulgar karena iya sadar telah memilih jalur cerita.
Rangkuman Buku Teori Pengkajian Fiksi
Karya: Burhan Nurgiantoro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar