Minggu, 26 Juni 2011

puisi

Gadis Padas Pinggir Pantai

Ketika sedang pilu, kuingat namamu
Ketika sedang dipantai, ku terbayang wajahmu
Ketika sedang rindu, ku panggil namamu
Ketika memandang bintang, ku sebut itu kau
Ketika tersesat di rimba, kuberharap kedatanganmu

Tapi tak bisa kuserahkan seluruh hidup dan matiku untukmu
Tak bisa ku menyimpanmu diseluruh ruang hatiku
Kuharus membagi itu

Percayalah aku kan menjagamu,
menjelma sebagai malaikat disamping lengan kananmu
percayalah aku kan bisa menjadi orang yang kau inginkan
menjadi wanita padas yang tak bergantung pada panas
melebur ombak, melelehkan fatamorgana

puisi


Seribu Jari Kreatif

Seribu jari kreatif menyulap kaleng rongsok
Yang menggunung disudut tembok
Belakang rumah.

Jari-jari menari dengan liuk
Menekuk kaleng menjadi kelinci
Berisi logam recehan
Yang bergoyang diperutnya dengan riang

Berhias kertas bekas
Dilempari tinta merah, hitam, hijau, kuning, biru
Mempercantik halaman si kelinci
Yang sedang menari dibawah sinar mentari




puisi


Teriakan Anjing dan Orong-orong

Terdengar suara kaingan anjing terkurung pada tembok berjeruji besi
Seperti meronta minta tolong dilepaskan
Sebelum mereka jadi santapan
Sedang aku disini bebas mengirup udara segar yang ditemani
sederet pohon bamboo yang menjulang tinggi
Seperti anjing itu, orong-orong berteriak terjepit pohon bamboo
Hanya aku disini bebas tanpa batas
Dalam kebebasanku ini, ku tak menikmati begitu saja
Bebas diri hati terpatri
Tertawa dalam duka
Ku geram mendengar kaingan anjing dan teriakan orong-orong
Hanya ingin bebas dari santapan manusia tak bermoral
Hanya ingin lepas dari himpitan pohon-pohon bamboo
Mereka hanya menuntut hak yang seharusnya mereka dapatkan
Merdekalah wahai pohon-pohon bamboo yang menjulan tinggi,
 semakin tinggi
Tak usah kau ingat akan tumbang nanti

Tasikmadu, Mei 2011

Sabtu, 28 Mei 2011

Puisi


Semoga Tergapai

Oleh: Siska Agustin Kusumastuti

Diatas bumi yang biru keputihan
Dibawah langit putih kecoklatan
Dengan ditemani satu bintang terang
Cahya putih nya yang menyilaukan
                                    Batang kayu manis itu tergeletak ditepi dinding tinggi
Dulu ia tak begini
                                    Karena kemaraukah?
                        Atau karena hama yang marah?
Diatas bumi yang biru keputihan
Dibawah langit putih kecoklatan
            Rantingnya ingin mengayun
                        Meraih beribu tetesan embun
                                    Daunya ingin melambai
Menyapa alam yang lemas lunglai
                                    Namun…..
                        Semuanya belum sampai
Baru angan yang hendak dicapai
Semoga harapan lekas tergapai


LINTAH

Oleh: Siska Agustin Kusumastuti

Dengan sengaja lintah itu masuk di rumah ibu
Dengan sengaja ibu memelihara lintah itu
Oooh...
Memang Tuhan telah melukis garis di telapak tangan ibu
Perlahan, lintah itu menempel lembut di kaki ibu
Perlahan, lintah itu merayap ke pinggang ibu
Perlahan, lintah itu menghisap darah ibu
Yang semula biru, warna itu menjadi coklat pucat
Perlahan, lintah itu terus menghisap
Dari coklat pucat, kini jadi hitam pekat
Hampir separo darah ibu dihisap lintah keparat
Ingin rasanya kubuang lintah itu
Ditengah derasnya sungai berbatu
Namun ibu melarangku...
Beliau berkata,
“Nak, biarlah lintah itu mati perlahan
Oleh takdir Tuhan...”
Betapa mulianya bidadari Tuhan itu
Tak ada dendam dalam hati yang pilu
Betapa mulianya kekasih Tuhan itu
Menggenggam ikhlas lukisan tangan  tak tentu



Sangkar Gagak Betina

Gagak betina terpasung dalam sangkar kebebasan
Sayapnya pun terpatri pada dinding jeruji penuh janji

Apa pedulimu pada bintang yang dipandang semua orang?
Apa pedulimu pada bulan yang menari ditengah malam?
Bukankah hanya cecapan manis bunga merekah yang kau inginkan!

Apa pedulimu pada lilin berselimut pilu yang padam perlahan?
Apa pula pedulimu pada kebebasan kertas terbang melayang?
Bukankah hanya keindahan tubuh gagak betina binal yang kau inginkan!

Gagak betina terpasung dalam sangkar kebebasan
Jangan harap kau bisa meraih walau separuh sayap
Sebelum kau buang jauh angan kejam yang berkarat pada otak
Singkirkan rasa ingin menikmati kepakan dua sayap bidadari
Sebelum kau benar yakin kelak tak kan tersakiti

Surakarta, Mei 2011






Lahap

Sarapan pagi melahap nasi, keju, sayur, dading dan susu
Sarapan kata melahap warta berita, gossip dan isu
Setelah pergi semakin rakus
Menjilat ludah oang-orang dan melahap semua tanpa urus

Diruang sidang mendengkur
Diluar sidang sok ngatur

Apa jadinya kalau rumah kita berisi
Orang-orang seperti itu
Tiang kian goyah
Atap akan runtuh
Lantai pun bergerak menggeliat
Menginginkan keadilan

KEADILAN???
Adakah makhluk semacam itu?
Tanyakan pada dirimu sendiri.


Hitam Putih Pagi

Diantara teras tak berkaca, terpancar surya mentari
mengintip disela-sela pohon bamboo
Dibawah sana ayam-ayam lalu-lalang mencari makan
sekedar mencari untuk mengisi perut berbunyi

Diatas sana saling sambar kelelawar
Untuk mengisi kantung perut yang tak pernah kenyang
Surya mentari mengintip disela-sela pohon bamboo
Seperti sengaja mengamati hitam putih pagi yang disinari

Tasikmadu, Mei 2011

Apresiasi Drama


Apresiasi Drama
Judul Lakon         : “Pesta Para Pencuri” karya Jean Anoulih
Kelompok teater   : Kelas B
Waktu Pentas      : 4 Januari 2011
Tempat Pentas    : Hall C Kampus UMS
Sutradara dan Pimpinan Produksi : Arif Surtiawan dan Rendiyanto
Tokoh Cerita dan Aktor atau Aktris Pemerannya
·         Piktor diperankan oleh Budi Santoso
·         Lela diperankan oleh Siska Agustin
·         Gusdul diperankan oleh Rendiyanto
·         Yeyet diperankan oleh Suryaningsih
·         Petbun diperankan oleh Danang Slamet Raharjo
·         Nyonya Molen diperankan oleh Intan Wirastuti
·         Tuan Bapau diperankn oleh Yakub Priyono
·         Togar Tua diperankan oleh Arif Surtiawan
·         Togar Muda diperankan oleh Ari Hermansah
Tokoh Pembantu
·         Pelayan 1 diperankan oleh Krisna Sidik
·         Pelayan 2 diperankan oleh Novi Nur Khasanah
·         Polisi 1 diperankan oleh Firman Al hidayah
·         Polisi 2 diperankan oleh Novianto
·         Penyapu taman diperankan oleh Eka Tri Sanjaya
Sinopsis ”Pesta Para Pencuri”
Drama ini bercerita tentang pesta yang dilakukan oleh para pencuri. Semua orang  yang malam itu berada di dalam kafe adalah pencuri. Mereka semua pencuri!. Entah pencuri barang atau hati yang pasti mereka semua adalah pencuri.
Kisah para pencuri itu dimulai dari segerombol laki-laki yang suka menggoda orang kaya yang akan menjadi mangsanya, kadang ia berdandan sebagai seorang gadis, kadang menjadi laki-laki jutawan.  Malam itu terjadi pertemuan antara Piktor dan Lela. Piktor adalah komplotan pencuri yang terdiri dari dirinya sendiri, Petbun (ketua para pencuri), dan Gusdur. Sedangkan Lela merupakan keponakan Nyonya Molen yang sangat kaya raya.
Lela menjalin hubungan dengan Piktor tanpa sepengetahuan siapapun. Ternyata Gusdur yang merupakan teman Piktor juga menjalin hubungan dengan Yeyet. Ternyata Yeyet juga keponakan Nyonya Molen dan masih bersaudara dengan Lela. Malam itu Nyonya Molen pergi ke sebuah kafe bersama dengan Yeyet dan Lela, mereka bertemu dengan tuan Bapau (teman lama Nyonya Molen). Tak lama kemudian datanglah Togar Tua bersama dengan anaknya yaitu Togar Muda (laki-laki yang sangat culun, jadul, dan bertompel). Togar Tua menyuruh anaknya untuk mendekati Lela atau Yeyet, karena dengan begitu kekayaan mereka akan bertambah. Tapi sayang kedua gadis itu tak ada yang suka dengan Togar Muda, mereka malah mengejek Togar Muda. Parahnya lagi kedua gadis itu malah  memamerkan kekasih mereka yang ternyata dalah pencuri, tapi semua orang belum tahu kalau kekasih Lela dan Yeyet adalah pencuri.
Nyonya Molen, Yeyet, Lela, dan Bapau sedang asyik di café, tiba-tiba muncul Petbun, Piktor, dan Gusdul. Nyonya Molen langsung SKSD dengan Petbun. Sebenarnya Nyonya Molen salah orang tapi Petbun memanfaatkan situasi itu dengan baik, Mereka mengobrol panjang lebar tapi Petbun tak mengerti sedikit pun inti dari pembicaraanya dengan Nyonya Molen. Untuk mencairkan suasana Petbun mengenalkan Piktor dan Gusdur sebagai anaknya. Nyonya Molen tampak kaget tapi ia tak mau ambil pusing. Petbun pura-pura sakit agar tidak ditanya macam-macam oleh Molen, Mereka malah diajak menginap di villa Nyonya Molen.
Ini lah awal dari kisah cinta Yeyet dengan Gusdur, diam-diam mereka sering berkencan. Gusdur mencintai Yeyet dengan tulus tapi ia takut kalau Yeyet tahu apa pekerjaan dirinya. Gusdur terlanjur berjanji dengan Petbun dan Piktor bahwa ia akan membantu mereka untuk mencuri di rumah Nyonya Molen yang merupakan bibi Yeyet. Di saat Gusdur tengah kebinggungan akan keadaan dan situasi, di sisi lain Piktor sedang berduaan dengan Lela. Ternyata Piktor sedang merayu Lela yang sudah tak memperdulikan dirinya lagi, Lela memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka berdua. Piktor merasa keberatan karena ia telah jatuh cinta dengan Lela, tapi Lela tak mau ambil pusing ia tetap kukuh pada keputusannya.
Piktor kecewa, ia merencanakan sesuatu dengan Petbun. Mereka akan melakukan pencurian pada malam hari. Malam itu di villa begitu sunyi dan sepi, mereka melaksanakan aksi perampokan, awalnya Gusdur tak ingin ikut tapi ia dipaksa. Gusdur pun ikut, tapi sayang ia ketahuan oleh Yeyet,  kemudian ia menyekap Yeyet. Gusdur meminta maaf kepada Yeyet, ia menyesal tapi ia tak mampu berbuat apa-apa. Penyekapan itu di ketahui oleh Togar Tua dan Togar muda, lalu mereka menelpon polisi tanpa diketahui oleh Gusdul. Yeyet kecewa, tapi ia terlanjur mencintai Gusdul. Yeyet mau memaafkan Gusdul, bahkan Yeyet ingin menikah dengan Gusdul.
Gusdul tak tahu apa yang harus dilakukan, ia bingungg apakah nanti Yeyet bisa hidup dengan seorang pencuri dan hidup dalam kemiskinan. Yeyet siap dengan keadaan apapun asal ia bisa hidup dengan Gusdul. Tanpa disadari Polisi berada tak jauh dari tempat Gusdul berdiri. Tanpa berkata apa-apa Gusdul langsung lari ketakutan dan meninggalkan Yeyet. Polisi mengejar Gusdul, begitu pula dengan Yeyet. Saat Yeyet menemukan Gusdul di taman dan memanggilnya. Gusdul berjalan mendekati Yeyet, tapi baru satu langkah ia terdengar suara tembakan hingga tiga kali, ternyata Gusdul tertembak. Gusdul jatuh di pelukan Yeyet, sebelum ia menghembuskan nafas terakhir Gusdul bilang kalu dirinya sangat mencintai Yeyet. Komplotan para pencuri yang lain pun tertangkap. Sungguh mengharukan kisah ini, banyak makna yang bisa kita ambil dari pementasan drama yang berjudul “Pesta Para Pencuri”.
Analisis Struktur Cerita
Struktur Lakon

·                     Tema
            Tema adalah  ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya (Aminudin, 2002 : 91).
            Semua orang adalah pencuri. Mereka semua pencuri!. Entah pencuri barang, pencuri pandang, atau pencuri hati yang pasti mereka semua adalah pencuri. Pencuri yang jatuh cinta kepada seorang wanita kaya, begitu juga sebaliknya. Ini merupakan tema setral dari pertunjukkan drama Pesta Para Pencuri. Hal ini terlihat ketika para pencuri itu mencuri sesuatu di rumah Nyonya Molen. Selain itu juga terlihat ketika mereka semua berkumpul di café, ada yang mencuri-curi pandang, ada yang mencuri-curi hati. Pada akhir cerita terdapat tragedi yang sangat menyedihkan, seorang pencuri yaitu Gusdul yang ditembak mati oleh polisi dan Yeyet sang kekasih menangisi kepergiannya. Tragedi itu merupakan akhir dari persta para pncuri.  
·                     Alur
            Alur adalah  rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehinggamenjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminudin, 2002 : 83). Alur dari pertunjukkan drama pesta para pencuri ini adalah “alur maju”. Dimana drama ini mengisahkan tentang kisah kehidupan segerombolan pencuri yang ingin kaya. Dari gerombolan pencuri itu ada yang jatuh cinta kepada para gadis manis keponakan dari bibi Molen yang kaya raya. Namun dari pihak Nyonya Molen dari keluarga yang Kaya raya tidak setuju kalau keponakannya jatuh cinta dengan para pencuri itu. Kemudian para pencuri itu menyamar menjadi seorang bangsawan yang kaya raya. Itu semua hanyalah sandiwara untuk mendapatkan kekayaan Nyonya Molen. Dan pada akhirnya ketika dilakukan pencurian itu, ketiga grombolan pencuri itu tertangkap dan si Gusdul kekasih Yeyet tewas tertembak. Drama ini mengisahkan tentang kisah percintaan mereka dari awal bertemu hingga akhirnya mereka berpisah.
·                     Setting
            Setting adalah latar perisiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memilki fungsi fisikal, dan fungsi psikologis(aminnudin, 1987:67). Latar tempat disebuah kafe tempat bertemunya Nyonya molen dengan tuan bakpau, Togar muda, Togar tua, Gusdul, Yeyet, Petbun, dan Laila. Disebuah taman tempat bertemunya Gusdul dengan Yeyet dan Piktor dengan Laila.
·                     Tokoh
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita (Aminudin, 2002 : 79). Tokoh utama dalam pertunjukan drama “Pesta Para Pencuri”ini antara lain adalah Gusdul, Yeyet, Nyonya Molen, Tuan Bakpau, Piktor, Laila, Petbun, Togar tua dan Togar muda. Sedangkan pemeran pembantunya antara lain: dua pelayan kafe, seorang penyapu taman dan dua orang polisi.
Karakter masing-masing tokoh :
Ø  Gusdul menpunyai watak yang lucu, romantic, setia pada pasangannya, keras kepala, lembut dan setia kawan. Hal ini terlihat ketika Gusdul di bujuk oleh kedu temannya untuk memanfaatkan Yeyet kekasihnya, Gusdul dengan tegas menolak bujukan tersebut. Guddul sangat mencintai Yeyet, namun dia sadar dia hanyalah seorang pencuri.
Ø  Yeyet mempunyai watak yang ceria, sedikit genit, setia pada Gusdul, penyayang dan manja. Dalam hal ini Yeyet selalu terlihat ceria, ketia dia jatuh cinta kepada seorang laki-laki. Yeyet selalu setia pada Gusdul meskipun dia tahu bahwa Gusdul seorang pencuri. Yeyet juga rela hidup menderita bersama Gusdul.
Ø  Nyonya Molen menpunyai watak yang cerewet, glamour, penyayang, mudah percaya pada orang lain, dan sedikit genit. Hal itu terlihat pada dandanan Nyonya Molen yang terlihat glamour. Nyonya Molen merupkan seorang yang cerewet, karena asa sayangnya terhadap keponakannya memuatnya harus bersikap demikian. Dia juga terlihat genit ketika di bertemu dengan Tuan Vernando Gomes.
Ø  Piktor  mempunyai watak yang Romantis, sabar, setia dan penyayang. Ketika si Lela sudah mengetahui bahwa Piktor telah membohoginya, Lelapun marah kepada Piktor. Namun dengan adanya rasa saying Piktor terhadap Lela, Piktor tetap sabar dan setia menghadapi sikap buruk Lela kepadanya.
Ø  Laila mempunyai watak yang mudah marah, genit, manja,keras kepala dan angkuh. Hal ini kerlihat ketika Lela marah kepada Piktor setelah diketahui bahwa Piktor berbohong. Lela marah dan mengucapkan “aku memang kejam pada orang yang tidak aku sayangi. Ini sudah menjadi sifatku. Tapi sebaliknya, jika ada seseorang yang kucintai, maka aku akan bersedia melakukan apa saja untuknya”.
Ø  Petbun mempunyai watak yang pemarah, egois, kasar, dan keras kepala. Pada darama itu ditunjukkan bahwa Petbun marah kepada Piktor da Gusdul ketika mereka melakukan pencurian namun tidak membawakan hasil. Petbun pun marah dan tidak meu menjadi pimpinan pencuri lagi
Ø  Tuan bakpau mempunyai watak yang humoris, cerdik,dan matre. Ketika Tuan Bapau mendekati Nyonya Molen, dan Nyonya molen menceritakan masalah yang dialaminya. Tuan Bapau memberikan saran-saran kepada Nyonya Molen. Selain itu ketika Tuan Bapau mengetahui bahwa Yeyet dan Gusdul sedang berkenca di taman, Tuan Bapau berkata “stop rupanya disini ada pelanggaran, haiyaaa”. Hal itu menunjukkan bahwa Tuan Bapau memiliki karakter yang setia, cerdas, dan humoris.
Ø  Togar tua mempunyai watak yang sangat menyayangi putranya, dan matre. Dalam cerita, Togar tua selalu membujuk anaknya si Togar muda untuk mendapatkan salah satu keponakan Nyonya Molen, agar mendapatkan kekayaan Nyonya Molen.
Ø  Togar Muda mempunyai watak yang lugu, polos, lucu, agak idiot. Terlihat pada dandanan dan sikap Togar muda yang tidak tahu masalah percintaan.
·       Bahasa
            Bahasa yang digunakan dalam pertunjukan drama “Pesta Para Pencuri”ini adalah  bahasa Indonesia, bahasa batak dan bahasa jawa.

Otokritik Terhadap Pementasan
·                     Acting
Acting dari setiap pemain terlihat bagus, dan terlihat menyatu dengan karakter yang sedang diperankannya. Penguasaan emosional dan ekspresi wajah menunjukkan betapa kerasnya para pemain ini berlatih, mempersiapkan diri sebelum pementasan ini dipentaskan. Penjiwaan dari setiap pemainnya sudah baik meskipun masih ada hal-hal yang perlu untuk lebih ditingkatkan.
Para pemain sudah berusaha semaksimal mungkin dalam beracting, dan mendalami perannya, contoh Tuan Bapu dengan logat kecina-cinaan yang ia juga termasuk pencuri, yaitu pencuri berita, lalu Nyonya Molen terlihat kejawennya, dari logat bicara maupun tingkah lakunya. Lalu Petbun, Gusdul, Piktor, mereka bisa menjadi pencuri, banci, ataupun menyamar menjadi pengusaha dan ekting mereka terlihat begitu alami, namun vokalisasi dari pemain kurang jadi lebih ditibgkatkan agar acting lebih maksimal.
·                     Blocking
Penempatan posisi pemain saat berakting memperlihatkan bahwa sebelum teater ini dipentaskan segala sesuatunya telah dipersiapkan. Termasuk latihan yang telah dilakukan para pemain sebagi bentuk persiapan sebelum pementasan. Dalam pementasan ini, blocking sudah cukup bagus dan penonton bisaa melihat semua adegan para pemain.
·                     Setting
Penataan setting tempat pada pementasan drama yang berjudul “Pesta Para Pencuri” masih banyak hal yang perlu dibenahi. Diantaranya suasana café yang kurang menonjol, walaupun sudah dilengkapi dengan tulisan namun masih kurang menunjukkan bahwa tempat tersebut adalah sebuah café. Salah satu contohnya pada waktu adegan ketiga pencuri sedang mabuk, tempat tersebut kurang menunjukkan sebuah café karena properti yang digunakan hanya satu meja dan kursi. Kemudian selain café masih ada satu hal lagi mengenai tempat yang perlu diperhatikan yaitu tempat yang menunjukkan sebuah villa. Ada beberapa adegan yang bertempat disebuah villa, akan tetapi tempat tersebut kurang mewakili bahwasanya tempat itu menunjukkan sebuah vila. Hal itu dapat dilihat pada waktu adegan sang pencuri bereaksi untuk mencuri di villa.
            Namun semua kekurangan mengenai tempat tersebut tidaklah fatal karena semua tidak ada yang sempurna. Dalam pementasan pasti akan ada kelebihan dan kekurangan sehingga semua kekurangan yang ada dapat dijadikan bahan untuk intropeksi guna memperbaiki semua kekurangan yang ada. 
·                     Lighting
            Dalam drama “Pesta Para Pencuri” pencahayaan yang digunakan untuk mendukung jalannya pementasan masih kurang berfungsi secara maksimal. Pencahayaan seharusnya dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa waktu telah sore, siang atau pun malam. Adanya pencahayaan juga dapat digunakan untuk menggambarkan suasana hati pemainnya saat berpentas diatas panggung.
            Dalam hal ini pencahayaan yang seharusnya mampu mendukung sebuah pementasan dengan maksimal, dalam pementasan drama “Pesta Para Pencuri” terlihat  monoton. Tidak ada penggunaan pencahayaan yang berbeda yang digunakan untuk menggambarkan waktu disaat sedang di taman atau waktu di café hal tersebut tidak menunjukkan waktu yang jelas apakah itu terjadi di siang hari, sore hari ataupun dimalam hari. Kemudian pada waktu akhir cerita lighting yang digunakan juga terlihat monoton pada waktu adegan tersebut belum didukung dengan pencahayaan yang tepat. Namun semua kekurangan itu sangatlah wajar karena dalam pementasan drama ini merupakan pertama kali pementasan sehingga masih banyak hal yang perlu di instropeksi.
·                     Kostum
Pemilihan kostum yang digunakan dalam pementasan drama “Pesta Para Pencuri” sudah sesuai dengan peran tokoh masing-masing. Hal itu terlihat bahwa ada perbedaan yang cukup jelas antara Nyonya Molen dengan aktor yang lainnya. Nyoya Molen  dalam pementasan ini digambarkan sebagai ibu-ibu daerah jawa. Sehingga kostum yang dipakai dengan kebaya dan rambut yang disanggul
Diluar dari pada itu semua, ditel dari pemakaian kostum oleh para pemain seharusnya untuk lebih diperhatikan. Karena kostum yang dipakai oleh salah satu pemain terlihat kepanjangan sehingga kurang enak dilihat.
·                     Rias
Polesan make-up atau rias pada pemain drama “Pesta Para Pencuri” sangat berkaitan erat denga kostum yang digunakan. Rias dapat menjelaskan keseluruhan peran yang dimainkan oleh seorang aktor maupun aktris yang telah memakai kostum seperti sosok peran yang dimainkan. Antara rias dan kostum merupakan dua unsure penting dalam satu pementasan yang tidak dapat dipisahkan dan saling melengkapi.
Penggunaan rias dalam drama ini sudah bagus, namun terlihat kurang memperhatikan ha-hal kecil seperti bedak. Bedak yang digunakan oleh salah satu tokoh pemain terlihat begitu tebal sehingga wajahnya terliat begitu putih.
·                     Musik
Musik yang dipilih dalam pementasan ini benar-benar sesuai dengan hal-hal yang dirasakan oleh pemainnya. Perasaan jatuh cinta, pada waktu mencuri bahkan pada waktu bersedih pun dalam music yang dipilih, telah mewakili tema yang sama dalam pementasan drama ini. Penonton ikut terhanyut dalam rasa yang sama ketika mendengarkan musik yang dipilih untuk mengiringi pementasan drama ini. Akhirnya, penonton memiliki kesan tersendiri setelah selesai menyaksikan pertunjukan drama “Pesta Para Pencuri”  tersebut.

Selasa, 12 April 2011

STILISTIKA


Buku: Stilistika, Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa.
Penulis Buku:Dr. Ali Imron Alma’ruf, M.Hum
Resensi Oleh: Siska Agustin Kusumastuti
BAB I
PENDAHULUAN
A.     Bahasa Karya Sastra
Karya sastra merupakan karya imajinatif bermediumkan bahasa yang fungsi estetiknya dominan. Bahasa sastra sebagai media ekspresi sastrawan dipergunakan untuk memperoleh nilai seni karya sastra, dalam hal ini berhubungan dengan style ‘gaya bahasa’ sebagai sarana sastra. Dengan demikian, plastis bahasa menjadi kebutuhan dalam bahasa sastra agar memiliki fungsi estetis yang dominan.
Bahasa sastra berhubungan dengan fungsi semiotik bahasa sastra. Bahasa merupakan sistem semiotik tingkat pertama (first order semiotics), sedangkan sastra merupakan system semiotik tingkat kedua (second order semiotics) (Abrams, 1981: 172). Sebagai medium karya sastra, bahasa berkedudukan sebagai semiotik tingkat kedua dengan konvensi sastra.
Menurut kaum Formalis Rusia, bahasa adalah cara penuturan yang bersifat tidak otomatis, tidak rutin, tidak biasa (Teeuw, 1984: 131).

B.     Ciri Khas Bahasa Sastra
Sebagai sebuah media ekspresi sastrawan dalam mengemukakan gagasan melalui karyanya, bahasa sastra memiliki beberapa ciri antara lain sebagai bahasa emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa nonsastra, khususnya bahasa ilmiah yang rasional dan denotatif.
Secara rinci, bahasa sastra memiliki sifat antara lain: emosional artinya bahasa sastra megandung ambiguitas yang luas yakni penuh homonym, manasuka atau nkategori-kategori tak rasional; bahasa sastra diresapi peristiwa-peristiwa sejarah, kenangan dan asosisasi-asosiasi, konotatif artinya bahasa sastra mengandung banyak arti tambahan, jauh dari hanya bersifat referensial (Wellek & Warren, 1989: 22-25), bergaya (berjiwa) merupakan bahasa yang digunakan secara khusus untuk menimbulkan efek tertentu, khususnya efek estetis (Pradopo, 1997: 40), dan ketidaklangsungan ekspresi.
Menurut Riffaterre (1978: 1) menyatakan bahwa puisi itu ekspresi yang tidak langsung. Meskipun teori Riffaterre ini dalam hubungannya dengan puisi, hal ini berlaku pula bagi prosa atau fiksi. Menurut Riffaterre (1978: 2) ketaklangsungan ekspresi tersebut disebabkan oleh tiga hal, yakni: penggantian arti (displacing of meaning) dilakukan dengan penggunaan metafora dan metonimia, penyimpangan arti (distorting of meaning) disebabkan oleh adanya pemakaian: ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense, dan penciptaan arti (creating of meaning) yaitu pengorganisasian teks.
BAB II
STYLE ‘GAYA BAHASA’
A.     Style ‘Gaya Bahasa’
Kata style (bahasa Inggris) berasal dari kata Latin stilus yang berarti alat (berujung tajam) yang dipakai untuk menulis diatas lempengan lilin (Shipley, 1979: 314; Leech & Short, 1984: 13).
Dalam buku ini, sesuai dengan kontek kajiannya yakni karya sastra yang bermediumkan bahasa, style diartikan sebagai ‘gaya bahasa’. Gaya bahasa adalah cara pemakaian bahasa dalam karangan, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams, 1981: 190-191). Menurut Leech & Short (1984: 10), style menyaran pada cara pemakaian bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu. Gaya bahasa bagi Ratna (2007: 232) adalah keseluruhan cara pemakaian (bahasa) oleh pengarang dalam karyanya. Hakikat ‘style’ adalah teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang diungkapkan.
Chomsky menggunakan istilah deep structure (struktur batin) dan surface structure (struktur lahir), yang identik pula dengan isi dan bentuk dalam gaya bahasa (Fowler, 1997: 6). Struktur lahir adalah performansi kebahasaan dalam wujudnya yang konkret, dan itulah gaya bahasa. Adapun struktur batin merupakan gagasan yang ingin dikemukakan oleh pengarang melalui gaya bahasanya itu.
Style ‘gaya bahasa’ adalah cara gagasan dan perasaan dengan bahasa khas sesuai dengan kreativitas, kepribadian, dan karakter pengarang untuk mencapai efek tertentu, yakni efek estetik atau efek kepuitisan dan efek penciptaan makna.
Gaya bahasa dalam karya sastra dipakai pengarang sebagai sarana retorika dengan mengekploitasi dan memanipulasi potensi bahasa. Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran (Altenbernd & Lewis, 1970: 22).

B.     Stilistika
Secara harfiyah, stlistika berasal dari bahasa Inggris: stylistics, yang berarti studi mengenai style ‘gaya bahasa’ atau ‘bahasa bergaya’. Adapun secara istilah, stilistika (stilistics) adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra (Abrams, 1979: 165-167; bandingkan Satoto, 1995: 36). Dapat dikatakan bahwa stilistika adalah proses menganalisis karya sastra dengan mengkaji unsur-unsur bahasa sebagai medium karya sastra yang digunakan sastrawan sehingga terlihat bagaimana perlakuan sastrawan terhadap bahasa dalam rangka menuangkan gagasannya (subject matter).
Ratna (2007: 236) menyatakan, stilistika merupakan ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra, dengan mempertimbangakan aspek-aspek keindahannya. Bagi Simpson (2004: 2), stilistika adalah sebuah metode interpretasi tekstual karya sastra yang dipandang memiliki keunggulan dalam pemberdayaan bahasa.
Leech dan Short (1984: 13) menyatakan bahwa stilistika adalah studi tentang wujud performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat dalam karya sastra. Chapman (1977: 15), stilistika juga bertujuan untuk menentukan seberapa jauh dalam hal apa bahasa yang digunakan dalam sastra memperlihatkan penyimpangan, dan bagaimana pengarang menggunakan tanda-tanda linguistik untuk mencapai efek khusus.
Menurut Junus(1989: xvii), hakikat stilistika adalah studi mengenai pemakaian bahasa dalam karya sastra.
Seperti dinyatakan Kridalaksana (1988: 157), stilistika (stilistics) adalah: (1) ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan; (2) penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa.
Stilistika sebagai ilmu yang mengkaji penggunaan bahasa dalam karya sastra yang berorientasi linguistik atau menggunakan parameter linguistik dapat dilihat pada batasan stilistika berikut.
Pertama, stilistika merupakan bagian linguistik yang menitikberatkan kepada variasi penggunaan bahasa dan kadangkala memberikan perhatian kepada penggunaan bahasa yang kompleks dalam karya sastra (Turner, 1977: 7). Atau, pendekatan linguistik yang digunakan dalam studi teks-teks sastra (Short, 1989: 183).
Kedua, stilistika dapat dikatakan sebagai studi yang menghubungkan antara bentuk linguistik dengan fungsi sastra (Leech dan Short, 1984: 4).
Ketiga, stilistika adalah ilmu kajian gaya yang digunakan untuk menganalisis karya sastra (Keris Mas, 1990: 3).
Keempat, stilistika mengkaji wacana sastra dengan berorientasi linguistik dan merupakan pertalian antara linguistik dan kritik sastra.



BAB III
FUNGSI STYLE ‘GAYA BAHASA’ DAN TUJUAN STILISTIKA

A.     Fungsi Style ‘Gaya Bahasa’
Gaya bahasa berfungsi sebagai alat untuk meyakinkan atau mempengaruhi pembaca atau pendengar. Gaya bahasa juga berkaitan dengan situasi dan suasana pengarang.
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa fungsi gaya bahasa dalam karya sastra sebagai alat untuk:
1.       Meninggikan selera, artinya dapat meningkatkan minat pembaca/ pendengar untuk mengikuti apa yang disampaikan pengarang/ pembicara.
2.      Mempengaruhi atau meyakinkan pembaca atau pendengar, artinya dapat membuat pembaca semakin yakin dan mantap terhadap apa yang disampaikan pengarang/ pembicara.
3.      Menciptakan keadaan perasaan hati tertentu, artinya dapat membawa pembaca hanyut dalam suasana hati tertentu, seperti kesan baik atau buruk, perasaan senagn atau tidak senang, benci, dan sebagainya setelah menangkap apa yang dikemukakan pengarang.
4.      Memperkuat efek terhadap gagasan, yakni dapat membuat pembaca terkesan oleh gagasan yang disampaikan pengarangalam karyanya.
B.     Tujuan Stilistika
Dalam kedudukannya sebagai teori dan pendekatan penelitian karya sastra yang berorientasi linguistik (dengan parameter linguistik), stilistika mempunyai tujuan sebagai berikut.
Pertama, stilistika untuk menghubungkan perhatian kritikus sastra dalam apresiasi estetik dengan perhatian linguis dalam deskripsi linguistik, seperti yang dikemukakan oleh Leech dan Short (1984: 13).
Kedua, stilistika untuk menelaah bagaimana unsur-unsur bahasa ditempatkan dalam menghasilkan pesan-pesan aktual lewat pola-pola yang digunakan dalam sebuah karya sastra (Widdowson, 1979: 202).
Ketiga, stilistika untuk menghubungkan intuisi-intuisi tentang makna-makna dengan pola-pola bahasa dalam teks (sastra) yang dianalisis.
Keempat, stilistika untuk menuntun pemahaman yang lebih baik terhadap makna yang dikemukakan pengarang dalam karyanya dan memberikan apresiasi yang lebih terhadap kemampuan bersastra pengarangnya (Broke, 1970: 131).
Kelima, stilistika untuk menemukan prinsip-prinsip artistik yang mendasari pemilihan bahasa seseorang pengarang. Sebab, setiap penulis memiliki kualitas individual masing-masing (Leech dan Short, 1984: 74).
Keenam, kajian stilistika akan menemukan kiat pengarang dalam memanfaatkan kemungkinan yang tersedia dalam bahasa sabagai sarana pengungkapan makna dan efek estetik bahasa (Sudjiman, 1995: v-vi).
BAB IV
BIDANG KAJIAN DAN JENIS KAJIAN STILISTIKA
A.     Bidang Kajian Stilistika
Abrams (1981: 192), menyatakan bahwa fitur stilistika (stylistic features) adalah fonologi, sintaksis, leksikal, dan retorika (rhetorical) yang meliputi karakteristik penggunaan bahasa figuratif, pencitraan, dan sebagainya. Adapun Leech & Short (1984: 75-80) berpendapat bahwa unsur stilistika (stylistic categories) meliputi unsur leksikal, gramatikal figure of speech, serta konteks dan kohesi.
Menurut Keraf (1991: 112), gaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan, yakni pilihan kata (diksi), frasa, klausa, dan kalimat, serta wacana. Senada dengan itu, Pradopo (2004: 9-14) menyatakan bahwa unsur-unsur gaya bahasa itu meliputi: (1) intonasi, (2) bunyi, (3) kata, (4) kalimat, dan (5) wacana.
Sayuti (2000: 174) menjelaskan bahwa unsur-unsur yang membangun gaya seorang pengarang dalam karya sastranya pada dasarnya meliputi diksi, citraan, dan sintaksis.
Menurut para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk atau unsur-unsur stilistika sebagai tanda-tanda lnguistik itu dapat berupa:
1.       Fonem (phonem)
2.      Leksikal atau diksi (diction)
3.      Kalimat atau bentuk sintaksis
4.      Wacana (discourse)
5.      Bahasa figurative (figurative language atau figurative of speech)
6.      Citraan (imagery)
2.Gaya Kata ( Diksi )
Diksi dapat diartikan sebagai pilihan kata – kata yang dilakukan oleh pengarang dalam karyanya guna menciptakan makna tertentu. Kata merupakan unsur bahasa yang paling esensial dalam karya sastra. Karena itu dalam pemilihannya para sastrawan berusaha agar kata – kata yang digunakan mengandung kepadatan dan intensitasnya serta agar selaras dengan sarana komunikasi puitis lainya. Kata yang di kombinasikan dengan kata lain dalam berbagai variasi mampu menggambarkan bermacam – macam ide, gagasan, dan perasaan. Gaya Bahasa bertalian dengan ungkapan – ungkapan individual atau karakteristik tertentu, yang memiliki nilai artistik yang tinggi ( Keraf, 1991: 23 ). Dengan demikian diksi bukan saja dipergunakan untuk menyatakan kata mana yang perlu dipakai untuk mengungkapkan suatu gagasan, tetapi juga meliputi persoalan gaya bahasa, ungkapan – ungkapan dan sebagainya. Diksi merupakan pilihan kata dan kejelasan lafal untuk memperoleh efek tertentu dalam berbicara di depan umum atau dalam karang mengarang (Kridalaksana, 1988: 35 ). Dapat pula dikatakan bahwa diksi adalah penentuan kata – kata seorang pengarng untuk mengungkapkan gahgasanya.
Diksi yang baik adalah yang sesuai dengan tuntutan cerita, keadaan atau diksi peristiwa, dan pembacanya (Yusuf, 1995: 68 ). Dengan demikian diksi dalam konteks sastra merupakan pilihan kata pengarang untuk mengungkapkan gagasaya guna mencapai efek trtentu dalam sastranya. Orang yang luas kosa katanya, demikian Keraf ( 1991: 24 ), akan memiliki kemampuan yang tinggi.
Dalam taanan bahasa, kata adalah satuan bahasa yang paling kecil yang merupakan lambang atau tanda bahasa yang bersifat mandiri secara bentuk dan makna. Kata, menurt Subroto ( 1996: 1 dan 11), berfungsi untuk menunjuk atau menyebut ( to refer, to denote ) sesuatu ( benda, peristiwa, hal sifat,atau keaaan, jumlah) yang bersifat luar bahasa, terutama untuk kata di luar bahasa ( extra linguistic world dan non-linguistic world )
Kata mempunyai fungsi sebagai simbol yang mewakili sesuatu.Meminjam istilah Ricoeur (1985: 192 ), setiap kata adalah simbol. Menurut Sumarno (2003 : 196) kata memiliki konotasi yang berbeda bergantung pada beberapa faktor. Pada dasarnya sastrawan ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya secara padat dan intens. Untuk mendapatkan kepadatan dan intensitasnya serta agar selaras dengan sarana komunikasi puitis yang lain, maka sastrawan memilih kata – kata dengan secermat – cermatya (Altenbernd & Lewis ). Kata konotatif sangat dominan dalam karya sastra. Menurut Leech ( 2003: 23 ),arti konotatif merupakan nilai komunikatif suatu ungkapan menurut apa yang diacu, melebihi di atas isinya yang murni konseptual.
Kata konotatif adalah kata yang memiliki makna tambahan yag erlepas dari makna harfiahnya yang didasarkan paa perasaan ata pemikiran yang timbul pada pengarang atau pembaca ( Yusuf, 1995: 152; Kridalaksana, 1988: 91). Kata konkret ( cocree) adalah kata yang dapat dilukiskan dengan tepat membayangkan dengan jitu akan apa yang hendak dikemukakan oleh pengarang ( Scott, 1980: 22 ). Kata konkret merujuk pada kata benda – benda fisikal yang tampak di alamkehidupan (Yusuf, 1995: 152). Menurut Krifalaksana ( 1988: 91), kata konkret adalah kata yang mempunyai ciri – ciri fisik yang tampak ( tentang nomina ). Salah satu  diksi dalam kartya sastra juga menarik untuk dikaji adalah nama diri atau sapaan. Nama diri ang dipakai sebagai kata sapaan adalah kata yang dipakai untk menyebut diri seseorang ( Riyadi, 1999: 80; Kridalaksana, 1993: 144 ).
Menurut Uhk]lenbeck ( 1982: 373 – 382 ), nama diri yang semata – mata hanya berfungsi sebagai penanda identitas identik dengan nama diri yang tidak termotivasi sedangkan nama diri berfungsi sebagai simbol identik yang bermotivasi. Selanjutnya dijelaskan oleh C. Kluckhohn ( dalam Koentjaraningrat, 1993: 206), bahwa unsur – unsur kebudayaan secara universal meliputi: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan tekhnologi, sistem pencaharian hiup, sistem religi, dan kesenian.
Chaer ( 1995: 43 – 52 ) menyatakan bahwa secara umum penamaan merpakan proses pelambangan suatu konsep untuk mengacu pada suatu referen yang berada di luar bahasa. Mengingat bahwa bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer, maka antara satuan kebahasaan sebagai simbol biasanya kata, dengan suatu benda atau hal yang disimbolkanya. Wasiayati ( 2000 : 8 ) berpandangan bahwa penamaan merupakan fungsi semantik dasar dari kata.
Kata serapan adalah kata yang diambil atau ipungut dari bahasa lain baik bahasa asing maupun bahasa daerah. Kata – kata yang carut dan kasar atau kampungan disebut kata vulgar ( Yusuf, 1995: k307 ). Kata vulgar merupakan kata – kata yang tidak intelek, kurang beradab, dipandang tidak etis, dan melanggar sopan santun dan etika sosial yang berlaku dalam masyarakat. Kata dengan objek realitas alam adalah kata yang memanfaaatkan realitas alam sebagai bentukan kata teryentu yang memiliki arti. Ada pun kosa kata bahasa jawa adalah kata dari bahasa jawa yang digunakan pengarang untuk mengekspresikan gagasan ata melukiskan sesuatu dalam karyanya.
3.Gaya Kalimat ( Sinaksis )
            Unsur ketiga yang membentuk wujud verbal karya sastra dan menentukan gaya pengarang adalah kalimat, yakni cara pengarang menyusun kalimat – kalimat dalam sastranya. Gaya kalimat ialah penggunaan suatu kalimat untuk memperoleh efek tertentu, misalnya, inversi, gaya kalimat tanya, perintah, an elips. Srana retorika yang berupa kalmat hiperbola, paradoks, klimaks, anti klimaks, antitesis, an koreksio ( Pradopo, 2004: 11). Penyiasatan struktur kalimat itu bermacam – macam wujudnya, mungkin berupa pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsur tertentu. Termasuk dalam gaya kalimat adalah penggunaan sarana retirika seperti kalimat klimaks,kalimat antiklimaks, koreksio, hiperbola, an antitesis.
            4. Gaya Wacana ( Discourse )
            Salah satu unsur stilistika karya sastra yang menarik dikaji aalah gaya wacana. Wacana ialah satuan bahasa terlengkap, yang memiliki hierarki tertinggi dalam gramatikal ( Kridalaksana, 1988: 179 ). Gaya wacana ialah gaa bahasa dengan penggunaan lebih dari satu kalimat, kombinasi kalimat, baik dalam prosa maupun puisi. Ermasuk dalam gaya wacan asastra adalah wacana dengan pemanfaatan sarana retorika seperti repetisi, paralelisme, klimaks, antiklimaks, an hiperbola, serta gaya wacana campur kode an alih kode ( Pradopo, 2004: 12 ). Campur kode dan alih kode digunakn untuk menciptakan efek sesuai dengan unsur – unsur bahasa yang digunakan.
            Campur kode adalah blingualisme penggunaan bahasa lain oleh bahasawan yang bilingual secara individual dalam bahasa ( Kridalaksana, 1988: 86 ). Gaya campur kode adalah penggunaan bahasa asing dalam bahasa sendiri atau campuran dalam karya satra. Penggunaanbahasa campuran itu kadang – kadang mengganggu pemahaman bagi pembaca yang pengetahanya terbatas ( Pradopo, 2004: 13 ). Adapun wacana alih kode  ( code switching ) ialah penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan pesan atau situasi lain atau adanya partisipan lain ( Kridalaksana, 1988: 86 ).
            5. Bahasa Figuratif ( figurative Language )
            Bahasa figuratf merupakan retorika sastra yang sangat dominan. Bahasa figuratif merupakan cara pengarang dalam memanfaatkan bahasa untuk memperoleh efek estetis dengan pengungkapan gagasan secara kias yang menyaran pada makna literal ( literal meaning ).
a)     Majas
Majas terbagi menjadi 2 jenis, yakni figure of though: tuturan yag terkait dengan pengolahan dan pembayangan gagasan. Rethorikal figure: tuturan figuratif yang terkait dengan penatan dan pengrutan kata – kata dalam konstruksi kalimat. (Aminudin, 1995: 249). Majas dalam kajian ini merujuk pada tuturan figuratif yang terkait dengan pengolahan dan pembayangan gagasan. Pemajasan ( figure of though ) merupakan teknik untuk pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak merujuk pada makna harfiah kata – kata yang mendukungnya. Pemajasan menurut Scot( 1990 :107 ) mencakup metafora, simile, pernofikasi, dan metonimia.
1)      Metafora
Metafora adalah majas seperti simile, hanya saja tidak menggunakan kata pembanding separti bagai, sebagai, laksana, seperti dan yang lainya. Metafora merupakan bahasa figuratif yang palig mendasar dalam karya sastra terlebih puisi ( Subroto, 1979: 275). Metafora mengidentifikasikan 2 objek yang berbeda dan menyatukanya dalam oijaran imajinasi. Menurut Subroto ( 1996: 38 ), metafora diciptakan terutama atas dasar keserupaan atau kemiripan antar dua referen. Kesamaan atau kemiripan antara keduanya merupakan terbentuknya metafora yaitu tenor diperbandingkan sebagai wahana.
Klasifikasi Metafora
            Metafora dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam sesuai denga tinjauanya, Ditinjau dari aspek budaya metafora dapat dibagi menjadi dua yakni metavora unuversal dan metafora yang terikat budaya ( Wahab, 1995: 85 ).
1.      Metafora Universal
Yang dimaksud metafora universal adalah yang mempunyai medan semantik sama bagi sebagian besar budaya di dunia. Untuk menggambarkan medan semantik yang sifatnya universal terdapat dalam metafora ( bahasa ). Haley menempatkan suatu tipografi yang luas tentang kategori semantik sebagai suatu hierarki yang mencerminkan ruang persepsi manusia.
2.     Mmetafora Terikat Budaya
Adalah meafora yang medan semantik untuk lambang dan maknanyaterbatas pada satu budaya saja, dalam hal ini adalah buaya jawa. Setiap budaya memiliki metafora yang terikat oleh budaa itu. Bahasa merupakan faktor pembeda tingkah laku sosial yang sangat tampak seperti faktor sosial lainya sebab bahasa dipelajari oleh anak – anak sejak kecil. Seperti halnya individu, kelompok sosial yang berbeda mungkin saja memiliki khasanah bahasa tersendiri yang tidak dimiliki kelompok sosial lainya.
Perkembangan Makna Metafora
Menurut Leech (2003: 19 ), makna suatu kata dapat dilihat dari sudut perkembanganya dalam masyarakat berdasarkan waktu baik secara sinkronis maupun diakronis. Metafora dengan majasi juga melalui perkembangan makna itu.
a.     Perkembangan makna Majas secara Sinkronis
Membedakan dua makna ungkapan majasi, yaitu makna bahasa, makna budaya
·         Makna Bahasa
Kata dikatakan mengandung makna bahasa jika makna kata itu dapat diperikan secara kebahasaan artinya, pertimbangan budaya. Makna bahasa dapat dibagi menjadi makna semantis, makna ilokusioner, makna kontekstual makna semantis muncul dari asosiasi fitur semantik referen ungkapan imajinasi.Makna ilokusioner mengandung praanggapan bahwa kata memiliki suatu arti dan keyakinan bahwa pembicara dan pendengar berbagi pengalaman dan pengetahuan bersama untuk mencapai sesuatu yang dimaksudkan.
·         Makna Budaya
Suatu kata dikatakan budaya mengandung makna budaya jika kata itu mencerminkan budaya masyarakat bahasa tempat kata tersebut digunakan. Karena budaya masyarakat brdeda – beda , maka kata yang sama mungkin berbeda pula dari satu buday ke budaya lainya.
b.     P erkembangan Makna Majas Secara Diakronis
Makna majas secara diakronis berarti makna kata yang berhubungan dengan perkembanganya dari waktu ke waktu mungkin berubah ( changeable ). Konsekuensinya, metafora dapat dibedakan atas metafora yang tak berdaya ( dead methapor ) dan metafora berdaya ( live methapor ) ( Fraser, 1979 : 173 )
o   Metafora Tak Berdaya
Metafora dikatakan sudah tak berdaya atau usang, mati jika makna harfiahnya tidak dapat dihubungkan lagi dengan makna majasinya ( Keraf, 1991: 124; Traugott,1985: 22)
Metafora Berdaya
Metafora dikatakan berdaya atau hidup jika makna harfiahnya dapat dihubungkan dengan makna majasinya. Oleh Traugott( 1985: 22 ) metafora berdaya dibagi dua yaki metafora konvensional dan metafora inovatif.
2)    Simile
lain menggunakan kata – kata pembanding seperti: bagai, sebagai, seperti, semisalnya, seumpama, laksana, ibarat, bak, dan kata – kata pembanding lainya ( Pradopo, 2000: 62).Simile merupakan majas yang paling sederhana dan palg banyak digunakan dalam kara sastra.
Contoh: Suaramu bagai matahari pagi yang mencerahkan hati
Senyummu laksabna air sumur yang menyejukkan kalbu.
3)    Personifikasi
Majas ini mempersamakan benda dengan manusia, benda – benda mati dibuat dapat berbuat, berfikir, melihat, mendengar, dan sebagainya seperti manusia. Personifikasi banyak dimanfaatkan para sastrawan sejak dulu hingga sekarang.
Contoh: Senyumnya kuasa mendinginkan kemarahan lelaki garang itu.
4)    Metonimia
sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan denganya untuk menggantikan objek tersebut (Altenbernd dan Lewis, 1970: 21)
Contoh: Jaran Guyang pemberianku terselip dipinggang ronggeng itu.
5)    Sinekdoki
Majas yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu hal atau benda itu sendiri( Altenbernd dan Lewis, 1970: 21). Sinekdiki dapat dibagi menjadi, pars prototo,totum pro parte.
Contoh: Bangsa indonesia berduka kehilangan guru bangsa.
b)    Idiom
Yusuf ( 1995: 118) mengartikan idiom sebagai kelompok kata ang mempunyai makna khas dan tidak sama dengan makna kata per kata. Jadi, idiom mempunyai kekhasan bentuk dan makna di dalam kebahasan yang tidak dapta diterjemahkan.
Contoh: Ia suka mencari kambing hitam, mereka kaki tangan juragan renternir.
c)      Peribahasa.
Menurut Kridalaksana ( 1988: 131; Yusuf,1995: 2170, peribahasa adalah kalimat atau pengalan kalimat yang telah membeku bentuk, makna dan fungsinya dalam masyarakat, bersifat turun menurun, dipergunakan untuk penghias karangan, penguat maksud karangan, pemberi nasehat, pengajaran ataupedoman hidup. Adapn tujuan orang” bdrperibajhasa” adalah agar dapat menyigkat pembicaraan sehingga maksud dan tujuan pembicaraan yag panjang lebar langsung pada inti maksud. Peribahasa dalam bahasa ionesia memiliki dan peran yang penting karena memiliki makna yang dalam. Peribahasa menurut Kridalaksana ( 1988: 131) mencakup pepatah, ibarat, bidal, perumpamaan, dan pemeo.
A.    Pepatah
Pepatah ialah ungkapan yang mengandung kiasan tepat, kalimatnya menyatakan yang sebenarnya. Pepatah berguna untuk mematahkan kata – kata atau perbuatan orang sehingga mitra bicara tidak dapat berkilah lagi.
B.     Ibarat ( simile)
Perbandingan antara orang ata benda dengan hal – hal yang lain dengan mempergunakan kata bagai, ibarat dan sebagainya.
C.    Bidal
Peribahasa yang berupa kalimat yang berisi nasihat atau pengajaran. Bidal berarti berbicara terus terang dengan disertai kias. Contoh; biar lambat asal selamat.
D.   Perumpamaan
Perumpaman melukiskansujatu hal, keaan, benda dan lainya..Perumpamaan lazim berkias sehingga biasanya terdiri atas dua kalimat.
Contoh: Ibarat buga, sedap dipakai, layu dibuang: bicaranya bagai ayam tanpa kepala.
E.    Pemeo
Pemeo mempunyai arti ungkapan yang tidak diketahui lagi pemulanya, yang suatu ketika banyak dipakai orang dan ditularkan dari mulut ke mulut dan selanjutnya ungkapan berisi sindiran, ejekan, atau olok –olok.
Contoh : Peraturan ini dibuat hanya untuk rakyat, tidak untuk pejabat. HAKIM; Hubungi Aku Kalau Ingin Menang.
B.     Jenis Kajian Stilistika
Kajian stilistika meliputi dua jenis yakni stilistika genetis dan stilistika deskriptif (Hartoko dan Rahmanto, 1986: 138).
Stilistika genetis adalah pengkajian stilistika individual sastrawan berupa penguraian ciri-ciri gaya bahasa yang terdapat dalam salah satu karya sastranya atau keseluruhan karya sastranya, baik prosa maupun puisinya. Adapun stilistika deskriptif adalah pengkajian gaya bahasa sekelompok sastrawan atau sebuah angkatan sastra, baik ciri-ciri gaya bahasa prosa maupun puisinya.
BAB V
STILISTIKA, ESTETIKA, RETORIKA, DAN IDEOLOGI
Stilistika mengkaji berbagai fenomena kebahasaan dengan menjelaskan berbagai keunikan dan kekhasan pemakaian bahasa dalam karya sastra berdasarkan maksud pengarang dan kesan pembaca. Dengan kata lain, stilistika merupakan studi tentang pemanfaatan bentuk dan satuan kebahasaan dalam karya sastra sebagai media ekspresi sastrawan guna menciptakan efek makkna tertentu dalam rangka mencapai efek estetika.
Estetika merupakan spek yang berhubungan dengan keindahan. Pengertian keindahan dalam estetikalah yang menyaran untuk adanya ciri yang sama dalam stilistika. Estika meliputi keseluruhan pemahaman tentang sastra.
Retorika lebih dekat dengan masalah penggunaan bahasa, tetapi lebih menekankan tujuan penggunaan suatu tuturan (Junus dalam Al-Ma’ruf). Tujuan penggunaan metafora, repetisi, ironi, metonimi, hiperbola, personifikasi dan sebagainya.
Dalam karya sastra, gaya bahasa berhubungan dengan makna dan ideology pengarang. Penggunaan gaya bahsa dalam karya sastra tidak terlepas dari makna karena karena ia berhubungan dengan proses pemaknaan (signification process). Gaya bahasa menurut Barthes adalah tanda yang memiliki makna. Gaya bahasa mendatangkan kesan keindahan (estetik) yang sensual bagi pembaca.
Dalam mengkaji ideology pada gaya bahasa, ada dua cara yang dapat ditempuh. 1) ideology dihubungkan dengan pengaang dan latar belakang masa tertentu. 2) ideology dilihat sebagai fenomena teks itu sendiri yang dapat dikaji secra hermeneutic dan intertekstual.
Dari konsep tetrsebut dapat dipahami bahwa tiap pengarang memiliki gaya bahasa sendiri sesuai dengan sifat, kegemaran, dan latar belakang sosiohistoris masing-masing, karena style (gaya bahasa merupakan cirri khas seseorang).
BAB VI
STYLE ‘GAYA BAHASA’, EKSPRESI PENGARANG, DAN GAGASAN
Menurut Aminudin, gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya melalui media bahasa yang tereujud dalam bahasa yang indah dan harmonis, meliputi aspek 1) pengarang, 2) ekspresi, 3) gaya bahasa. Jadi gaya bahasa adalah orangnya sendiri atau pengarangnya.
Bagan
Hubungan Gaya Bahasa dengan Ekspresi Pengarang
GAGASAN

PENGARANG
Sikap
Pengetahuan
Pengalaman
Suasana batin

EKSPRESI

GAYA BAHASA
Penjelasan dari bagan diatas bahwa gaya bahas berkaitan erat dengan ekspresi. Gaya bahasa adalah alat pengarang untuk mewujudkan gagasan sedangkan ekspresi merupakan proses atau kegiatan perwujudan gagasan itu sendiri.
Singkatnya, bahwa setiap pengarang memiliki gaya bahasa masing-masing yang berbeda. Meskipun mereka berangkat dari gagasan yang sama, bentuk penyampaiannya dala gaya bahasa senantiasa berbeda. Dalam kaarya sastra ini disebut individuasi, yaitu keunikan dan kekhasan seorang penarang dalam penciptan yang tidak pernah sama, antara yang satu dengan yang lain.
BAB VII
KAJIAN LINGUISTIK DAN KARYA SASTRA
Semula tampak ada kecenderungan studi stilistika diarahkan pada studi linguistic. Karya sastra sebagai wacana bukan semata-mata menyangkut konfensi bahasa, melainkan juga menyangkut konvensi sastra dan konvensi budaya. Pentingnya kajian linguistic dalam karya sastra, bahwa tugas kajian linguistuk adalah memberikan bantuan dalam analisis sastra dengan memaparkan perlengkapan bahasa yang dimanfaatkan dalam teks sastra dan diorganisasikan oleh pengarang.
Sejalan dengan Halliday, menyatakan bahwa seorang linguis bukan dan tidak akan pernah secra penuh menjadi seorang penganalisis sastra, dan hanya seorang penganalisis sastra yang dapat menentuka posisi linguistic alam studi sastra. Ainudin juga menegaskan bahwa bahasa dalam karya sastra semestinya mengandung kebaharuan dan kekhasan karena hal itu dapat mencerminkan orisinalitas ciptaan, keunikakan, dan individualnya. Penggunaan bahas yang baaru dan khas itu mencakup: kesatuan bentuk (kohesi), kesatuan semantic (koherensi), kesatuan bentuk dan isi (harmoni), kebaruan dn kekhasan (individuasi), kejernihan dan kedalaman tujuan yang berkaitan dengan intensitas bahasa.
Kajian linguistika dalam karya sastra harus diposisikan secara wajar dan proporsional. Hal itu mengingat pemakaian bahasa dalam karya sastra tidak sama dengan pemakaian bahasa salam buku ilmiah, majalah, surat kabar, pidato kenegaraan dll. Dengan demikian wujud pemakaian bahasa dalam karya sastra yang memperlihatkan cirri pemakaian secara lazim tidak perlu diperkan secara khusus karena pemakaian bahasa demikian tidak menunjukkan kekhasan dan keunikan. Keunikan dan kekhasan bahsa itu perlu dikai dalam rangka menemukan keistimewaan pemakaian bahasa dan efek khusus yang ditimbulkannya.
BAB VIII
STILISTIKA DAN SEMANTIK DALAM KAJIAN SASTRA
Kode bahasa dalam sastra memiliki  dua lapis, yakni lapis bunyi atau bentuk dan lapis makna. Lapis makna dapat dibagi menjadi beberapa stratum, yakni:
a.      Unit makna literal yang secara tersurat direpresentasikan bentuk kebahasaan yang digunakan.
b.      Dunia rekaan pengarang
c.       Dunia yang dipandang dari titik pandang tertentu
d.      Lapis dunia tau pesan yang bersifat metafisis
Sejalan dengan pandangan Ferdinand de Saussure yang mengintroduksi istilah significant, yakni gambaran bunyi abstrak dalam kesadaran, dan signifie, yakni ambaran dunia luar dalam abstrak kesadaran yang diacu oleh significant.
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa makna adalah unsure yang menyertai aspek bunyi, jauh sebelum hadir dlam kegiatan komunikasi. Makna dalam pengertian luas yakni semua yang dikomunikasikan melalui bahasa, yan dapat diklasifikasikan menjadi tujuh macam:
1.       Makna konseptual, merupakan makna murni, asli sesuai dengan isinya.
2.      Makna konotasi, merupakan makna komunikatif dari suatu ungkapan menurut apa yang diacu, melebihi isi yang murni konseptual.
3.      Makna stilistik, yakni makna sebuah kata yang menunjukkan lingkungan social penggunanya dan berhubungan dengan situasi tetrjadinya ucapan itu.
4.      Makna afektif, yakni makna yang memiliki kandungan konseptual atau konotatif dari kata-kata yang dipergunakan.
5.      Makna refleksi adalah makna yang timbul dalam hal makna konseptual ganda.
6.      Makna kolokatif adalah makna yang timbul dari asosiasi-asosiasi yang diperoleh suatu kata, yang disebabkan oleh makna kata-kata yang cenderung muncul didalam lingkungannya.
7.      Makna tematik adalah makna yang dikomunikasikan menurut cara penutur atau penulis menata pesannya (menurut urutan, focus, dan penekanan).
BAB IX
KAJIAN STILISTIKA DALAM KARYA SASTRA
A.     Kajian Stilistika
Sejumlah definisi gaya menurut Enkvist:
1.       Gaya sebagai bungkus yang membungkus inti pemikiran atau pernyataan yang telah ada sebelumnya
2.      Gaya sebagai pilihan berbagai pernyataan yang mungkin
3.      Gaya sebagai sekumpulan cirri pribadi
4.      Gaya sebagai penyimpangan dari norma
5.      Gaya sebagai sekumpulan cirri-ciri kolektif
6.      Gaya sebagai hubungan antara satuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas.
Dalam istilah gaya secara umum berkaaitan dengan pemakain bahasa dalam  karya sastra sebagai bahan kajian stilistika. Dalam karya sastra, satiap kata memiliki tautan emotif, moral,  atau ideologis disamping maknanya yang netral. Gaya bahasa merupakan pemanfatan potensi bahasa yang ekspresif dan emotif sifatnya yang ditambahkan dalam penyajian gagasan yang netral dan sifatnya yang opresionnal.
B.     Gaya Bahasa: Foregrounding, Defamiliarisasi,dan Deotomatisasi
Foregrounding adalah melakukan pemberdayaan segenap potensi bahasa dengan mengeksploitasi dan memanipulasinya agar tercipta bentuk-bentuk bahasa yang unik dan khas, inovatif, serta inkonfensional, yang tidak nisa ditemukan dalam bahasa karya lain.
Menurut Shklovsky, bahasa dibuat defamiliarisasi, yakni sesuatu dibuat tidak familiar, tidak biasa, tidak dikenal. Sedangkan deotomatisasi adalah hubungan antara lambing dengan makna tidak secara otomatis, yang dilakukan dengan melanggar konfensi bahasa. Jika perlu, gaya bahasa oleh pengarangnya sengaja diciptakan sedemikian rupa, dengan menyimpangi kaidah bahasa yang berlaku.
C.     Aspek-aspek Stilistika dalam Kajian Karya Sastra
Beberapa aspek stilistika berupa bentuk-bentuk dan satuan kebahasaan yang ditelaah dalam kajian stilistika karya sastra meliputi:
1.       Gaya Bunyi (Fonem)
Fonem atau bunyi bahasa merupakan unsure lingual terkecil dalam suatu bahasa yang dapat menimbulkan dan membedakan arti tertentu. Fonem terbagi menjadi vocal (bunyi hidup seperti a,i,u,e,o) dan konsonan (bunyi mati seperti b,f,g,k,j,l dan sebagainya). Dalam karya sastra genre puisi, fonem merupakan aspek yang memegang oeranan penting dalam penciptaan efek estetis.
Timbullah irama indah yang tercipta dalam pisi, misalnya karena adanya asonansi dan aliterasi. Asonansi adalah pengulangan bunyi vocal yang sama pada rangkaian kata yang berdekatan dalam satu baris. Adapun pengulangan bunyi konsonan yang sama pada rangkaian kata yang berdekatan dalam satu baris disebut aliterasi.
Fonem /u/ misalnya mampu menciptakan nada dan suasana sendu. Fonem /a/ mampu menimbulkan nada dan Susana gembira. Tidak jarang pada puisi, orkestrisasi bunyi yang timbul karrena adanya asonansi dan aliterasi itu sering menimbulkan efoni dan kakafoni. Efoni adalah bunyi-bunyi yang merdu dan menyenangkan yang menciptakan musikalisasi bunyi yang indah. Adapun bunyi-bunyi parau, aneh, berat, kasar, terkadang tidak menyenangkan dan tidak menimbulkan musikalisasi bunyi disebut kakafoni. Asonansi dan aliterasi tersebut takterkecuali sering terdapt baik pada puisi konvensional maupun puisi  modern, bahkan kontmporer.
6. Citraan (Imagery)
Citraan atau imaji dalam karya sastra berperan penting untuk menimbulkan pembayangan imajinatif, membentuk gambaran mental, dan dapat membangkitkan pengalaman tertentu pada pembaca. Menurut Sayuti (2000: 174), citraan dapat diartikan sebagai kata atau serangkaian kata yang dapat membentuk gambaran mental atau dapat membangkitkan pengalaman tertentu. Dalam fiksi citraan dibedakan menjadi citraan literal dan citraan figuratif.
Citraan kata merupakan penggambaran angan-angan dalam karya sastra. Sastrawan tidak hanya pencipta musik verbal tetapi juga pencipta gambaran dalam kata-kata untuk mendeskripsikan sesuatu sehingga pembaca dapat melihat, merasakan dan mendengarnya (Scott, 1980: 139).
Fungsi citraan adalah untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam penginderaan dan pikiran, menarik perhatian dan membangkitkan intelektualitas dan emosi pembaca dengan cepat. Citraan kata dapat dibagi menjadi tujuh jenis yakni : 1) citraan penglihatan, 2) citraan pendengaran, 3) citraan penciuman, 4) citraan pencecapan, 4) citraan gerak, 5) citraan intelektual, 6) citraan gerak, 7) citraan perabaan.
Tujuh jenis citraan dalam karya sastra :
a)     Citraan Penglihatan (Visual Imagery)
Citraan yang timbul oleh penglihatan disebut citraan penglihatan. Citraan visual itu mengusik indera penglihatan pembaca sehingga akan membangkitkan imajinasinya untuk memahami karya sastra. Perasaan estetis akan lebih mudah terangsang melalui citraan visual itu.
b)     Citraan Pendengaran (Auditory Imagery)
Citraan pendengaran adalah citraan yang ditimbulkan oleh pendengar. Citraan pendengaran juga produktif dipakai dalam karya sastra. Berbagai peristiwa dan pengalaman hidup yang berkaitan dengan pendengaran yang tersimpan dalam memori pembaca akan mudah bangkit dengan adanya citraan audio.
c)      Citraan Gerakan ( Movement Imagery/Kinesthetic)
Citraan gerak melukiskan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai sebagai dapat bergerak ataupun gambaran gerak pada umumnya. Citraan gerak sangat produktif dipakai dalam karya sastra karena mampu membangkitkan imaji pembaca.
d)     Citraan Perabaan (Tactile/Thermal Imagery)
Berbeda dengan citraan penglihatan dan pendengaran yang produktif, citraan perabaan agak sedikit dipakai oleh pengarang dalam karya sastra. Dalam fiksi citra perabaan terkadang dipakai untuk melukiskan keadaan emosional tokoh.
e)     Citraan Penciuman
Citraaan penciuman dipakai pengarang untuk membangkitkan imaji pembaca dalam hal memperoleh pemahaman yang utuh atas teks sastrayang dibacanya melalui indera penciumannya. Dalam menangkap gagasan pengarang dalam karya sastra, citraan penciuman membantu pembaca dalam menghidupkanemosi dan imajinasinya.
f)       Citraan Pencecapan (Taste Imagery)
Citraan pencecapan adalah pelukisan imajinasi yang ditimbulkan oleh pengalaman indera pencecapan dalam hal ini lidah. Jenis citraan pencecapan dalam karya sastra dipergunakan untuk menghidupkan imajinasi pembaca dalam hal-hal yang berkaitan dengan rasa di lidah atau membangkitkan selera makan. Dengan citraan ini pembaca akan lebih mudah membayangkan bagaimana rasa sesuatu makanan atau minuman yang diperoleh melalui lidah.
g)     Citraan Intelektual (Intellectual Imagery)
Citraan yang dihasilkan melalui asosiasi-asosiasi intelektual disebut citraan intelektual. Dengan jenis citraan ini pengarang dapat membangkitkan imajinasi pembaca melalui asosiasi-asosiasi logika dan pemikiran. Jenis citraan ini termasuk sering digunakan dalam karya sastra guna merangsang intelektualitas pembaca.

BAB X
TEORI SEMIOTIK, INTERTEKS, RESEPSI SASTRA,
DAN HERMENEUTIK DALAM PENGKAJIAN STILISTIKA
A.     Teori Semiotik
Pendekatan semiotik berpijak pada pandangan bahwa karya sastra sebagai karya seni merupakan suatu system tanda (sign) yang terjalin secara bulat dan utuh. Sebagai system tanda ia mengenal dua aspek yakni penanda (significant) dan petanda (signifie). Sebagai penanda karya sastra hanyalah artefak, penghubung antara pengarang dan masyarakat pembaca. Disini karya sastra mencapai realisasi semesta menjadi objek estetik (Mukarovsky, 1976: 3-4).
Ahli semiotik Sander Peirce memusatkan perhatian pada fungsi tanda-tanda pada umumnya dengan memberikan tempat yang penting pada tanda-tanda linguistik, namun bukan tempat yang utama. Peirce (dalam Abrams, 1981: 170) membedakan tiga kelompok tanda, ketiga tanda itu yakni:
a)     Ikon (icon) adalah suatu tanda yang mengunakan kesamaan dengan apa yang dimaksudkannya.
b)     Indeks (index) adalah suatu tanda yang mempunyai kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya.
c)      Symbol (symbol) adalah hubungan antara hal/sesuatu (item) penanda dengan item yang ditandainya yang sudah menjadi konvensi masyarakat.
Ahli semiotic terkenal, Roland Barthes dalam bukunya My-thologies (1973, 193-195) menjelaskan cara kerja semiotic. Menurut Barthes mitos adalah suatu system komunikasi, sesuatu yang memberikan pesan. Baginya mitos bukanlah suatu benda, gagasan atau konsep melainkan suatu cara signifikasi suatu bentuk.
B.     Teori Interteks
Teori intertekstual memandang setiap teks sastra perlu dibaca dengan latar belakang teks-teks lain, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaan sastra tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai acuan. Hal itu tidak berarti bahwa teks baru hanya mengambilteks-teks sebelumnya sebagai acuan tetapi juga menyimpangi dan mentranformasikannyadalam teks-teks yang dicipta kemudian (Teeuw, 1984: 145-146).
Junus (1988: 108-117) merumuskan hubungan intertekstual dalam beberapa wujud: 1) teks yang dimasukkan itu mungkin teks yang kongkret atau mungkin teks yang abstrak yang penting adalah kehadiran sifatnya, 2) kehadiran suatu teks tertentu daam teks lain secar fisikal, 3) penggunaan tokoh yang sama, 4) kehadiran unsur dari suatu teks dalam teks lain, 5) kehadiran kebiasaan berbahasa tertentu dalam suatu teks, 6) yang hadir mungkin teks kata-kata, yaitu kata atau kata-kata atau ambigu maknanya.
C.     Teori Resepsi Sastra
Istilah resepsi sastra berasal dari kata rezeptionaesthetic, yang dapat disamakan dengan literary response (penerimaan estetik) sesuai dengan aesthetic of reception (Junus, 1984: 2).
Resepsi sastra berpandangan bahwa pada dasarnya karya sastra adalah polisemi. Tetapi bukan tidak mungkin seorang pembaca dalam suatu waktu tertentu hanya akan melihat satu “arti” saja. Atau mereka hanya memberikan tekanan pada satu “arti” tertentu dan mengabaikan “arti” yang lainnya. Dengan demikian “arti: dikonkretkan dengan hubungan oleh khalayak (audience) (Junus, 1984: 2).
Menurut Segers (1978: 49; Pradopo, 2002:24) penelitian dengan metode estetika resepsi adalah: 1) merekonstruksi bermacam-macam konkretisasi sebuah karya sastra dalam masa sejarahnya, 2) penelitian hubungan di antara konkretisasi-konkretisasi itu di satu pihak, dan penelitian hubungan antara karya sastra dengan konteks historis yang memiliki konkretisasi di lain pihak.
Pustaka:
Imron, Ali. 2009 . Stilistika, Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Solo: Cakra Books.