Selasa, 12 April 2011

STILISTIKA


Buku: Stilistika, Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa.
Penulis Buku:Dr. Ali Imron Alma’ruf, M.Hum
Resensi Oleh: Siska Agustin Kusumastuti
BAB I
PENDAHULUAN
A.     Bahasa Karya Sastra
Karya sastra merupakan karya imajinatif bermediumkan bahasa yang fungsi estetiknya dominan. Bahasa sastra sebagai media ekspresi sastrawan dipergunakan untuk memperoleh nilai seni karya sastra, dalam hal ini berhubungan dengan style ‘gaya bahasa’ sebagai sarana sastra. Dengan demikian, plastis bahasa menjadi kebutuhan dalam bahasa sastra agar memiliki fungsi estetis yang dominan.
Bahasa sastra berhubungan dengan fungsi semiotik bahasa sastra. Bahasa merupakan sistem semiotik tingkat pertama (first order semiotics), sedangkan sastra merupakan system semiotik tingkat kedua (second order semiotics) (Abrams, 1981: 172). Sebagai medium karya sastra, bahasa berkedudukan sebagai semiotik tingkat kedua dengan konvensi sastra.
Menurut kaum Formalis Rusia, bahasa adalah cara penuturan yang bersifat tidak otomatis, tidak rutin, tidak biasa (Teeuw, 1984: 131).

B.     Ciri Khas Bahasa Sastra
Sebagai sebuah media ekspresi sastrawan dalam mengemukakan gagasan melalui karyanya, bahasa sastra memiliki beberapa ciri antara lain sebagai bahasa emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa nonsastra, khususnya bahasa ilmiah yang rasional dan denotatif.
Secara rinci, bahasa sastra memiliki sifat antara lain: emosional artinya bahasa sastra megandung ambiguitas yang luas yakni penuh homonym, manasuka atau nkategori-kategori tak rasional; bahasa sastra diresapi peristiwa-peristiwa sejarah, kenangan dan asosisasi-asosiasi, konotatif artinya bahasa sastra mengandung banyak arti tambahan, jauh dari hanya bersifat referensial (Wellek & Warren, 1989: 22-25), bergaya (berjiwa) merupakan bahasa yang digunakan secara khusus untuk menimbulkan efek tertentu, khususnya efek estetis (Pradopo, 1997: 40), dan ketidaklangsungan ekspresi.
Menurut Riffaterre (1978: 1) menyatakan bahwa puisi itu ekspresi yang tidak langsung. Meskipun teori Riffaterre ini dalam hubungannya dengan puisi, hal ini berlaku pula bagi prosa atau fiksi. Menurut Riffaterre (1978: 2) ketaklangsungan ekspresi tersebut disebabkan oleh tiga hal, yakni: penggantian arti (displacing of meaning) dilakukan dengan penggunaan metafora dan metonimia, penyimpangan arti (distorting of meaning) disebabkan oleh adanya pemakaian: ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense, dan penciptaan arti (creating of meaning) yaitu pengorganisasian teks.
BAB II
STYLE ‘GAYA BAHASA’
A.     Style ‘Gaya Bahasa’
Kata style (bahasa Inggris) berasal dari kata Latin stilus yang berarti alat (berujung tajam) yang dipakai untuk menulis diatas lempengan lilin (Shipley, 1979: 314; Leech & Short, 1984: 13).
Dalam buku ini, sesuai dengan kontek kajiannya yakni karya sastra yang bermediumkan bahasa, style diartikan sebagai ‘gaya bahasa’. Gaya bahasa adalah cara pemakaian bahasa dalam karangan, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams, 1981: 190-191). Menurut Leech & Short (1984: 10), style menyaran pada cara pemakaian bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu. Gaya bahasa bagi Ratna (2007: 232) adalah keseluruhan cara pemakaian (bahasa) oleh pengarang dalam karyanya. Hakikat ‘style’ adalah teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang diungkapkan.
Chomsky menggunakan istilah deep structure (struktur batin) dan surface structure (struktur lahir), yang identik pula dengan isi dan bentuk dalam gaya bahasa (Fowler, 1997: 6). Struktur lahir adalah performansi kebahasaan dalam wujudnya yang konkret, dan itulah gaya bahasa. Adapun struktur batin merupakan gagasan yang ingin dikemukakan oleh pengarang melalui gaya bahasanya itu.
Style ‘gaya bahasa’ adalah cara gagasan dan perasaan dengan bahasa khas sesuai dengan kreativitas, kepribadian, dan karakter pengarang untuk mencapai efek tertentu, yakni efek estetik atau efek kepuitisan dan efek penciptaan makna.
Gaya bahasa dalam karya sastra dipakai pengarang sebagai sarana retorika dengan mengekploitasi dan memanipulasi potensi bahasa. Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran (Altenbernd & Lewis, 1970: 22).

B.     Stilistika
Secara harfiyah, stlistika berasal dari bahasa Inggris: stylistics, yang berarti studi mengenai style ‘gaya bahasa’ atau ‘bahasa bergaya’. Adapun secara istilah, stilistika (stilistics) adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra (Abrams, 1979: 165-167; bandingkan Satoto, 1995: 36). Dapat dikatakan bahwa stilistika adalah proses menganalisis karya sastra dengan mengkaji unsur-unsur bahasa sebagai medium karya sastra yang digunakan sastrawan sehingga terlihat bagaimana perlakuan sastrawan terhadap bahasa dalam rangka menuangkan gagasannya (subject matter).
Ratna (2007: 236) menyatakan, stilistika merupakan ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra, dengan mempertimbangakan aspek-aspek keindahannya. Bagi Simpson (2004: 2), stilistika adalah sebuah metode interpretasi tekstual karya sastra yang dipandang memiliki keunggulan dalam pemberdayaan bahasa.
Leech dan Short (1984: 13) menyatakan bahwa stilistika adalah studi tentang wujud performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat dalam karya sastra. Chapman (1977: 15), stilistika juga bertujuan untuk menentukan seberapa jauh dalam hal apa bahasa yang digunakan dalam sastra memperlihatkan penyimpangan, dan bagaimana pengarang menggunakan tanda-tanda linguistik untuk mencapai efek khusus.
Menurut Junus(1989: xvii), hakikat stilistika adalah studi mengenai pemakaian bahasa dalam karya sastra.
Seperti dinyatakan Kridalaksana (1988: 157), stilistika (stilistics) adalah: (1) ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan; (2) penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa.
Stilistika sebagai ilmu yang mengkaji penggunaan bahasa dalam karya sastra yang berorientasi linguistik atau menggunakan parameter linguistik dapat dilihat pada batasan stilistika berikut.
Pertama, stilistika merupakan bagian linguistik yang menitikberatkan kepada variasi penggunaan bahasa dan kadangkala memberikan perhatian kepada penggunaan bahasa yang kompleks dalam karya sastra (Turner, 1977: 7). Atau, pendekatan linguistik yang digunakan dalam studi teks-teks sastra (Short, 1989: 183).
Kedua, stilistika dapat dikatakan sebagai studi yang menghubungkan antara bentuk linguistik dengan fungsi sastra (Leech dan Short, 1984: 4).
Ketiga, stilistika adalah ilmu kajian gaya yang digunakan untuk menganalisis karya sastra (Keris Mas, 1990: 3).
Keempat, stilistika mengkaji wacana sastra dengan berorientasi linguistik dan merupakan pertalian antara linguistik dan kritik sastra.



BAB III
FUNGSI STYLE ‘GAYA BAHASA’ DAN TUJUAN STILISTIKA

A.     Fungsi Style ‘Gaya Bahasa’
Gaya bahasa berfungsi sebagai alat untuk meyakinkan atau mempengaruhi pembaca atau pendengar. Gaya bahasa juga berkaitan dengan situasi dan suasana pengarang.
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa fungsi gaya bahasa dalam karya sastra sebagai alat untuk:
1.       Meninggikan selera, artinya dapat meningkatkan minat pembaca/ pendengar untuk mengikuti apa yang disampaikan pengarang/ pembicara.
2.      Mempengaruhi atau meyakinkan pembaca atau pendengar, artinya dapat membuat pembaca semakin yakin dan mantap terhadap apa yang disampaikan pengarang/ pembicara.
3.      Menciptakan keadaan perasaan hati tertentu, artinya dapat membawa pembaca hanyut dalam suasana hati tertentu, seperti kesan baik atau buruk, perasaan senagn atau tidak senang, benci, dan sebagainya setelah menangkap apa yang dikemukakan pengarang.
4.      Memperkuat efek terhadap gagasan, yakni dapat membuat pembaca terkesan oleh gagasan yang disampaikan pengarangalam karyanya.
B.     Tujuan Stilistika
Dalam kedudukannya sebagai teori dan pendekatan penelitian karya sastra yang berorientasi linguistik (dengan parameter linguistik), stilistika mempunyai tujuan sebagai berikut.
Pertama, stilistika untuk menghubungkan perhatian kritikus sastra dalam apresiasi estetik dengan perhatian linguis dalam deskripsi linguistik, seperti yang dikemukakan oleh Leech dan Short (1984: 13).
Kedua, stilistika untuk menelaah bagaimana unsur-unsur bahasa ditempatkan dalam menghasilkan pesan-pesan aktual lewat pola-pola yang digunakan dalam sebuah karya sastra (Widdowson, 1979: 202).
Ketiga, stilistika untuk menghubungkan intuisi-intuisi tentang makna-makna dengan pola-pola bahasa dalam teks (sastra) yang dianalisis.
Keempat, stilistika untuk menuntun pemahaman yang lebih baik terhadap makna yang dikemukakan pengarang dalam karyanya dan memberikan apresiasi yang lebih terhadap kemampuan bersastra pengarangnya (Broke, 1970: 131).
Kelima, stilistika untuk menemukan prinsip-prinsip artistik yang mendasari pemilihan bahasa seseorang pengarang. Sebab, setiap penulis memiliki kualitas individual masing-masing (Leech dan Short, 1984: 74).
Keenam, kajian stilistika akan menemukan kiat pengarang dalam memanfaatkan kemungkinan yang tersedia dalam bahasa sabagai sarana pengungkapan makna dan efek estetik bahasa (Sudjiman, 1995: v-vi).
BAB IV
BIDANG KAJIAN DAN JENIS KAJIAN STILISTIKA
A.     Bidang Kajian Stilistika
Abrams (1981: 192), menyatakan bahwa fitur stilistika (stylistic features) adalah fonologi, sintaksis, leksikal, dan retorika (rhetorical) yang meliputi karakteristik penggunaan bahasa figuratif, pencitraan, dan sebagainya. Adapun Leech & Short (1984: 75-80) berpendapat bahwa unsur stilistika (stylistic categories) meliputi unsur leksikal, gramatikal figure of speech, serta konteks dan kohesi.
Menurut Keraf (1991: 112), gaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan, yakni pilihan kata (diksi), frasa, klausa, dan kalimat, serta wacana. Senada dengan itu, Pradopo (2004: 9-14) menyatakan bahwa unsur-unsur gaya bahasa itu meliputi: (1) intonasi, (2) bunyi, (3) kata, (4) kalimat, dan (5) wacana.
Sayuti (2000: 174) menjelaskan bahwa unsur-unsur yang membangun gaya seorang pengarang dalam karya sastranya pada dasarnya meliputi diksi, citraan, dan sintaksis.
Menurut para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk atau unsur-unsur stilistika sebagai tanda-tanda lnguistik itu dapat berupa:
1.       Fonem (phonem)
2.      Leksikal atau diksi (diction)
3.      Kalimat atau bentuk sintaksis
4.      Wacana (discourse)
5.      Bahasa figurative (figurative language atau figurative of speech)
6.      Citraan (imagery)
2.Gaya Kata ( Diksi )
Diksi dapat diartikan sebagai pilihan kata – kata yang dilakukan oleh pengarang dalam karyanya guna menciptakan makna tertentu. Kata merupakan unsur bahasa yang paling esensial dalam karya sastra. Karena itu dalam pemilihannya para sastrawan berusaha agar kata – kata yang digunakan mengandung kepadatan dan intensitasnya serta agar selaras dengan sarana komunikasi puitis lainya. Kata yang di kombinasikan dengan kata lain dalam berbagai variasi mampu menggambarkan bermacam – macam ide, gagasan, dan perasaan. Gaya Bahasa bertalian dengan ungkapan – ungkapan individual atau karakteristik tertentu, yang memiliki nilai artistik yang tinggi ( Keraf, 1991: 23 ). Dengan demikian diksi bukan saja dipergunakan untuk menyatakan kata mana yang perlu dipakai untuk mengungkapkan suatu gagasan, tetapi juga meliputi persoalan gaya bahasa, ungkapan – ungkapan dan sebagainya. Diksi merupakan pilihan kata dan kejelasan lafal untuk memperoleh efek tertentu dalam berbicara di depan umum atau dalam karang mengarang (Kridalaksana, 1988: 35 ). Dapat pula dikatakan bahwa diksi adalah penentuan kata – kata seorang pengarng untuk mengungkapkan gahgasanya.
Diksi yang baik adalah yang sesuai dengan tuntutan cerita, keadaan atau diksi peristiwa, dan pembacanya (Yusuf, 1995: 68 ). Dengan demikian diksi dalam konteks sastra merupakan pilihan kata pengarang untuk mengungkapkan gagasaya guna mencapai efek trtentu dalam sastranya. Orang yang luas kosa katanya, demikian Keraf ( 1991: 24 ), akan memiliki kemampuan yang tinggi.
Dalam taanan bahasa, kata adalah satuan bahasa yang paling kecil yang merupakan lambang atau tanda bahasa yang bersifat mandiri secara bentuk dan makna. Kata, menurt Subroto ( 1996: 1 dan 11), berfungsi untuk menunjuk atau menyebut ( to refer, to denote ) sesuatu ( benda, peristiwa, hal sifat,atau keaaan, jumlah) yang bersifat luar bahasa, terutama untuk kata di luar bahasa ( extra linguistic world dan non-linguistic world )
Kata mempunyai fungsi sebagai simbol yang mewakili sesuatu.Meminjam istilah Ricoeur (1985: 192 ), setiap kata adalah simbol. Menurut Sumarno (2003 : 196) kata memiliki konotasi yang berbeda bergantung pada beberapa faktor. Pada dasarnya sastrawan ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya secara padat dan intens. Untuk mendapatkan kepadatan dan intensitasnya serta agar selaras dengan sarana komunikasi puitis yang lain, maka sastrawan memilih kata – kata dengan secermat – cermatya (Altenbernd & Lewis ). Kata konotatif sangat dominan dalam karya sastra. Menurut Leech ( 2003: 23 ),arti konotatif merupakan nilai komunikatif suatu ungkapan menurut apa yang diacu, melebihi di atas isinya yang murni konseptual.
Kata konotatif adalah kata yang memiliki makna tambahan yag erlepas dari makna harfiahnya yang didasarkan paa perasaan ata pemikiran yang timbul pada pengarang atau pembaca ( Yusuf, 1995: 152; Kridalaksana, 1988: 91). Kata konkret ( cocree) adalah kata yang dapat dilukiskan dengan tepat membayangkan dengan jitu akan apa yang hendak dikemukakan oleh pengarang ( Scott, 1980: 22 ). Kata konkret merujuk pada kata benda – benda fisikal yang tampak di alamkehidupan (Yusuf, 1995: 152). Menurut Krifalaksana ( 1988: 91), kata konkret adalah kata yang mempunyai ciri – ciri fisik yang tampak ( tentang nomina ). Salah satu  diksi dalam kartya sastra juga menarik untuk dikaji adalah nama diri atau sapaan. Nama diri ang dipakai sebagai kata sapaan adalah kata yang dipakai untk menyebut diri seseorang ( Riyadi, 1999: 80; Kridalaksana, 1993: 144 ).
Menurut Uhk]lenbeck ( 1982: 373 – 382 ), nama diri yang semata – mata hanya berfungsi sebagai penanda identitas identik dengan nama diri yang tidak termotivasi sedangkan nama diri berfungsi sebagai simbol identik yang bermotivasi. Selanjutnya dijelaskan oleh C. Kluckhohn ( dalam Koentjaraningrat, 1993: 206), bahwa unsur – unsur kebudayaan secara universal meliputi: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan tekhnologi, sistem pencaharian hiup, sistem religi, dan kesenian.
Chaer ( 1995: 43 – 52 ) menyatakan bahwa secara umum penamaan merpakan proses pelambangan suatu konsep untuk mengacu pada suatu referen yang berada di luar bahasa. Mengingat bahwa bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer, maka antara satuan kebahasaan sebagai simbol biasanya kata, dengan suatu benda atau hal yang disimbolkanya. Wasiayati ( 2000 : 8 ) berpandangan bahwa penamaan merupakan fungsi semantik dasar dari kata.
Kata serapan adalah kata yang diambil atau ipungut dari bahasa lain baik bahasa asing maupun bahasa daerah. Kata – kata yang carut dan kasar atau kampungan disebut kata vulgar ( Yusuf, 1995: k307 ). Kata vulgar merupakan kata – kata yang tidak intelek, kurang beradab, dipandang tidak etis, dan melanggar sopan santun dan etika sosial yang berlaku dalam masyarakat. Kata dengan objek realitas alam adalah kata yang memanfaaatkan realitas alam sebagai bentukan kata teryentu yang memiliki arti. Ada pun kosa kata bahasa jawa adalah kata dari bahasa jawa yang digunakan pengarang untuk mengekspresikan gagasan ata melukiskan sesuatu dalam karyanya.
3.Gaya Kalimat ( Sinaksis )
            Unsur ketiga yang membentuk wujud verbal karya sastra dan menentukan gaya pengarang adalah kalimat, yakni cara pengarang menyusun kalimat – kalimat dalam sastranya. Gaya kalimat ialah penggunaan suatu kalimat untuk memperoleh efek tertentu, misalnya, inversi, gaya kalimat tanya, perintah, an elips. Srana retorika yang berupa kalmat hiperbola, paradoks, klimaks, anti klimaks, antitesis, an koreksio ( Pradopo, 2004: 11). Penyiasatan struktur kalimat itu bermacam – macam wujudnya, mungkin berupa pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsur tertentu. Termasuk dalam gaya kalimat adalah penggunaan sarana retirika seperti kalimat klimaks,kalimat antiklimaks, koreksio, hiperbola, an antitesis.
            4. Gaya Wacana ( Discourse )
            Salah satu unsur stilistika karya sastra yang menarik dikaji aalah gaya wacana. Wacana ialah satuan bahasa terlengkap, yang memiliki hierarki tertinggi dalam gramatikal ( Kridalaksana, 1988: 179 ). Gaya wacana ialah gaa bahasa dengan penggunaan lebih dari satu kalimat, kombinasi kalimat, baik dalam prosa maupun puisi. Ermasuk dalam gaya wacan asastra adalah wacana dengan pemanfaatan sarana retorika seperti repetisi, paralelisme, klimaks, antiklimaks, an hiperbola, serta gaya wacana campur kode an alih kode ( Pradopo, 2004: 12 ). Campur kode dan alih kode digunakn untuk menciptakan efek sesuai dengan unsur – unsur bahasa yang digunakan.
            Campur kode adalah blingualisme penggunaan bahasa lain oleh bahasawan yang bilingual secara individual dalam bahasa ( Kridalaksana, 1988: 86 ). Gaya campur kode adalah penggunaan bahasa asing dalam bahasa sendiri atau campuran dalam karya satra. Penggunaanbahasa campuran itu kadang – kadang mengganggu pemahaman bagi pembaca yang pengetahanya terbatas ( Pradopo, 2004: 13 ). Adapun wacana alih kode  ( code switching ) ialah penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan pesan atau situasi lain atau adanya partisipan lain ( Kridalaksana, 1988: 86 ).
            5. Bahasa Figuratif ( figurative Language )
            Bahasa figuratf merupakan retorika sastra yang sangat dominan. Bahasa figuratif merupakan cara pengarang dalam memanfaatkan bahasa untuk memperoleh efek estetis dengan pengungkapan gagasan secara kias yang menyaran pada makna literal ( literal meaning ).
a)     Majas
Majas terbagi menjadi 2 jenis, yakni figure of though: tuturan yag terkait dengan pengolahan dan pembayangan gagasan. Rethorikal figure: tuturan figuratif yang terkait dengan penatan dan pengrutan kata – kata dalam konstruksi kalimat. (Aminudin, 1995: 249). Majas dalam kajian ini merujuk pada tuturan figuratif yang terkait dengan pengolahan dan pembayangan gagasan. Pemajasan ( figure of though ) merupakan teknik untuk pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak merujuk pada makna harfiah kata – kata yang mendukungnya. Pemajasan menurut Scot( 1990 :107 ) mencakup metafora, simile, pernofikasi, dan metonimia.
1)      Metafora
Metafora adalah majas seperti simile, hanya saja tidak menggunakan kata pembanding separti bagai, sebagai, laksana, seperti dan yang lainya. Metafora merupakan bahasa figuratif yang palig mendasar dalam karya sastra terlebih puisi ( Subroto, 1979: 275). Metafora mengidentifikasikan 2 objek yang berbeda dan menyatukanya dalam oijaran imajinasi. Menurut Subroto ( 1996: 38 ), metafora diciptakan terutama atas dasar keserupaan atau kemiripan antar dua referen. Kesamaan atau kemiripan antara keduanya merupakan terbentuknya metafora yaitu tenor diperbandingkan sebagai wahana.
Klasifikasi Metafora
            Metafora dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam sesuai denga tinjauanya, Ditinjau dari aspek budaya metafora dapat dibagi menjadi dua yakni metavora unuversal dan metafora yang terikat budaya ( Wahab, 1995: 85 ).
1.      Metafora Universal
Yang dimaksud metafora universal adalah yang mempunyai medan semantik sama bagi sebagian besar budaya di dunia. Untuk menggambarkan medan semantik yang sifatnya universal terdapat dalam metafora ( bahasa ). Haley menempatkan suatu tipografi yang luas tentang kategori semantik sebagai suatu hierarki yang mencerminkan ruang persepsi manusia.
2.     Mmetafora Terikat Budaya
Adalah meafora yang medan semantik untuk lambang dan maknanyaterbatas pada satu budaya saja, dalam hal ini adalah buaya jawa. Setiap budaya memiliki metafora yang terikat oleh budaa itu. Bahasa merupakan faktor pembeda tingkah laku sosial yang sangat tampak seperti faktor sosial lainya sebab bahasa dipelajari oleh anak – anak sejak kecil. Seperti halnya individu, kelompok sosial yang berbeda mungkin saja memiliki khasanah bahasa tersendiri yang tidak dimiliki kelompok sosial lainya.
Perkembangan Makna Metafora
Menurut Leech (2003: 19 ), makna suatu kata dapat dilihat dari sudut perkembanganya dalam masyarakat berdasarkan waktu baik secara sinkronis maupun diakronis. Metafora dengan majasi juga melalui perkembangan makna itu.
a.     Perkembangan makna Majas secara Sinkronis
Membedakan dua makna ungkapan majasi, yaitu makna bahasa, makna budaya
·         Makna Bahasa
Kata dikatakan mengandung makna bahasa jika makna kata itu dapat diperikan secara kebahasaan artinya, pertimbangan budaya. Makna bahasa dapat dibagi menjadi makna semantis, makna ilokusioner, makna kontekstual makna semantis muncul dari asosiasi fitur semantik referen ungkapan imajinasi.Makna ilokusioner mengandung praanggapan bahwa kata memiliki suatu arti dan keyakinan bahwa pembicara dan pendengar berbagi pengalaman dan pengetahuan bersama untuk mencapai sesuatu yang dimaksudkan.
·         Makna Budaya
Suatu kata dikatakan budaya mengandung makna budaya jika kata itu mencerminkan budaya masyarakat bahasa tempat kata tersebut digunakan. Karena budaya masyarakat brdeda – beda , maka kata yang sama mungkin berbeda pula dari satu buday ke budaya lainya.
b.     P erkembangan Makna Majas Secara Diakronis
Makna majas secara diakronis berarti makna kata yang berhubungan dengan perkembanganya dari waktu ke waktu mungkin berubah ( changeable ). Konsekuensinya, metafora dapat dibedakan atas metafora yang tak berdaya ( dead methapor ) dan metafora berdaya ( live methapor ) ( Fraser, 1979 : 173 )
o   Metafora Tak Berdaya
Metafora dikatakan sudah tak berdaya atau usang, mati jika makna harfiahnya tidak dapat dihubungkan lagi dengan makna majasinya ( Keraf, 1991: 124; Traugott,1985: 22)
Metafora Berdaya
Metafora dikatakan berdaya atau hidup jika makna harfiahnya dapat dihubungkan dengan makna majasinya. Oleh Traugott( 1985: 22 ) metafora berdaya dibagi dua yaki metafora konvensional dan metafora inovatif.
2)    Simile
lain menggunakan kata – kata pembanding seperti: bagai, sebagai, seperti, semisalnya, seumpama, laksana, ibarat, bak, dan kata – kata pembanding lainya ( Pradopo, 2000: 62).Simile merupakan majas yang paling sederhana dan palg banyak digunakan dalam kara sastra.
Contoh: Suaramu bagai matahari pagi yang mencerahkan hati
Senyummu laksabna air sumur yang menyejukkan kalbu.
3)    Personifikasi
Majas ini mempersamakan benda dengan manusia, benda – benda mati dibuat dapat berbuat, berfikir, melihat, mendengar, dan sebagainya seperti manusia. Personifikasi banyak dimanfaatkan para sastrawan sejak dulu hingga sekarang.
Contoh: Senyumnya kuasa mendinginkan kemarahan lelaki garang itu.
4)    Metonimia
sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan denganya untuk menggantikan objek tersebut (Altenbernd dan Lewis, 1970: 21)
Contoh: Jaran Guyang pemberianku terselip dipinggang ronggeng itu.
5)    Sinekdoki
Majas yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu hal atau benda itu sendiri( Altenbernd dan Lewis, 1970: 21). Sinekdiki dapat dibagi menjadi, pars prototo,totum pro parte.
Contoh: Bangsa indonesia berduka kehilangan guru bangsa.
b)    Idiom
Yusuf ( 1995: 118) mengartikan idiom sebagai kelompok kata ang mempunyai makna khas dan tidak sama dengan makna kata per kata. Jadi, idiom mempunyai kekhasan bentuk dan makna di dalam kebahasan yang tidak dapta diterjemahkan.
Contoh: Ia suka mencari kambing hitam, mereka kaki tangan juragan renternir.
c)      Peribahasa.
Menurut Kridalaksana ( 1988: 131; Yusuf,1995: 2170, peribahasa adalah kalimat atau pengalan kalimat yang telah membeku bentuk, makna dan fungsinya dalam masyarakat, bersifat turun menurun, dipergunakan untuk penghias karangan, penguat maksud karangan, pemberi nasehat, pengajaran ataupedoman hidup. Adapn tujuan orang” bdrperibajhasa” adalah agar dapat menyigkat pembicaraan sehingga maksud dan tujuan pembicaraan yag panjang lebar langsung pada inti maksud. Peribahasa dalam bahasa ionesia memiliki dan peran yang penting karena memiliki makna yang dalam. Peribahasa menurut Kridalaksana ( 1988: 131) mencakup pepatah, ibarat, bidal, perumpamaan, dan pemeo.
A.    Pepatah
Pepatah ialah ungkapan yang mengandung kiasan tepat, kalimatnya menyatakan yang sebenarnya. Pepatah berguna untuk mematahkan kata – kata atau perbuatan orang sehingga mitra bicara tidak dapat berkilah lagi.
B.     Ibarat ( simile)
Perbandingan antara orang ata benda dengan hal – hal yang lain dengan mempergunakan kata bagai, ibarat dan sebagainya.
C.    Bidal
Peribahasa yang berupa kalimat yang berisi nasihat atau pengajaran. Bidal berarti berbicara terus terang dengan disertai kias. Contoh; biar lambat asal selamat.
D.   Perumpamaan
Perumpaman melukiskansujatu hal, keaan, benda dan lainya..Perumpamaan lazim berkias sehingga biasanya terdiri atas dua kalimat.
Contoh: Ibarat buga, sedap dipakai, layu dibuang: bicaranya bagai ayam tanpa kepala.
E.    Pemeo
Pemeo mempunyai arti ungkapan yang tidak diketahui lagi pemulanya, yang suatu ketika banyak dipakai orang dan ditularkan dari mulut ke mulut dan selanjutnya ungkapan berisi sindiran, ejekan, atau olok –olok.
Contoh : Peraturan ini dibuat hanya untuk rakyat, tidak untuk pejabat. HAKIM; Hubungi Aku Kalau Ingin Menang.
B.     Jenis Kajian Stilistika
Kajian stilistika meliputi dua jenis yakni stilistika genetis dan stilistika deskriptif (Hartoko dan Rahmanto, 1986: 138).
Stilistika genetis adalah pengkajian stilistika individual sastrawan berupa penguraian ciri-ciri gaya bahasa yang terdapat dalam salah satu karya sastranya atau keseluruhan karya sastranya, baik prosa maupun puisinya. Adapun stilistika deskriptif adalah pengkajian gaya bahasa sekelompok sastrawan atau sebuah angkatan sastra, baik ciri-ciri gaya bahasa prosa maupun puisinya.
BAB V
STILISTIKA, ESTETIKA, RETORIKA, DAN IDEOLOGI
Stilistika mengkaji berbagai fenomena kebahasaan dengan menjelaskan berbagai keunikan dan kekhasan pemakaian bahasa dalam karya sastra berdasarkan maksud pengarang dan kesan pembaca. Dengan kata lain, stilistika merupakan studi tentang pemanfaatan bentuk dan satuan kebahasaan dalam karya sastra sebagai media ekspresi sastrawan guna menciptakan efek makkna tertentu dalam rangka mencapai efek estetika.
Estetika merupakan spek yang berhubungan dengan keindahan. Pengertian keindahan dalam estetikalah yang menyaran untuk adanya ciri yang sama dalam stilistika. Estika meliputi keseluruhan pemahaman tentang sastra.
Retorika lebih dekat dengan masalah penggunaan bahasa, tetapi lebih menekankan tujuan penggunaan suatu tuturan (Junus dalam Al-Ma’ruf). Tujuan penggunaan metafora, repetisi, ironi, metonimi, hiperbola, personifikasi dan sebagainya.
Dalam karya sastra, gaya bahasa berhubungan dengan makna dan ideology pengarang. Penggunaan gaya bahsa dalam karya sastra tidak terlepas dari makna karena karena ia berhubungan dengan proses pemaknaan (signification process). Gaya bahasa menurut Barthes adalah tanda yang memiliki makna. Gaya bahasa mendatangkan kesan keindahan (estetik) yang sensual bagi pembaca.
Dalam mengkaji ideology pada gaya bahasa, ada dua cara yang dapat ditempuh. 1) ideology dihubungkan dengan pengaang dan latar belakang masa tertentu. 2) ideology dilihat sebagai fenomena teks itu sendiri yang dapat dikaji secra hermeneutic dan intertekstual.
Dari konsep tetrsebut dapat dipahami bahwa tiap pengarang memiliki gaya bahasa sendiri sesuai dengan sifat, kegemaran, dan latar belakang sosiohistoris masing-masing, karena style (gaya bahasa merupakan cirri khas seseorang).
BAB VI
STYLE ‘GAYA BAHASA’, EKSPRESI PENGARANG, DAN GAGASAN
Menurut Aminudin, gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya melalui media bahasa yang tereujud dalam bahasa yang indah dan harmonis, meliputi aspek 1) pengarang, 2) ekspresi, 3) gaya bahasa. Jadi gaya bahasa adalah orangnya sendiri atau pengarangnya.
Bagan
Hubungan Gaya Bahasa dengan Ekspresi Pengarang
GAGASAN

PENGARANG
Sikap
Pengetahuan
Pengalaman
Suasana batin

EKSPRESI

GAYA BAHASA
Penjelasan dari bagan diatas bahwa gaya bahas berkaitan erat dengan ekspresi. Gaya bahasa adalah alat pengarang untuk mewujudkan gagasan sedangkan ekspresi merupakan proses atau kegiatan perwujudan gagasan itu sendiri.
Singkatnya, bahwa setiap pengarang memiliki gaya bahasa masing-masing yang berbeda. Meskipun mereka berangkat dari gagasan yang sama, bentuk penyampaiannya dala gaya bahasa senantiasa berbeda. Dalam kaarya sastra ini disebut individuasi, yaitu keunikan dan kekhasan seorang penarang dalam penciptan yang tidak pernah sama, antara yang satu dengan yang lain.
BAB VII
KAJIAN LINGUISTIK DAN KARYA SASTRA
Semula tampak ada kecenderungan studi stilistika diarahkan pada studi linguistic. Karya sastra sebagai wacana bukan semata-mata menyangkut konfensi bahasa, melainkan juga menyangkut konvensi sastra dan konvensi budaya. Pentingnya kajian linguistic dalam karya sastra, bahwa tugas kajian linguistuk adalah memberikan bantuan dalam analisis sastra dengan memaparkan perlengkapan bahasa yang dimanfaatkan dalam teks sastra dan diorganisasikan oleh pengarang.
Sejalan dengan Halliday, menyatakan bahwa seorang linguis bukan dan tidak akan pernah secra penuh menjadi seorang penganalisis sastra, dan hanya seorang penganalisis sastra yang dapat menentuka posisi linguistic alam studi sastra. Ainudin juga menegaskan bahwa bahasa dalam karya sastra semestinya mengandung kebaharuan dan kekhasan karena hal itu dapat mencerminkan orisinalitas ciptaan, keunikakan, dan individualnya. Penggunaan bahas yang baaru dan khas itu mencakup: kesatuan bentuk (kohesi), kesatuan semantic (koherensi), kesatuan bentuk dan isi (harmoni), kebaruan dn kekhasan (individuasi), kejernihan dan kedalaman tujuan yang berkaitan dengan intensitas bahasa.
Kajian linguistika dalam karya sastra harus diposisikan secara wajar dan proporsional. Hal itu mengingat pemakaian bahasa dalam karya sastra tidak sama dengan pemakaian bahasa salam buku ilmiah, majalah, surat kabar, pidato kenegaraan dll. Dengan demikian wujud pemakaian bahasa dalam karya sastra yang memperlihatkan cirri pemakaian secara lazim tidak perlu diperkan secara khusus karena pemakaian bahasa demikian tidak menunjukkan kekhasan dan keunikan. Keunikan dan kekhasan bahsa itu perlu dikai dalam rangka menemukan keistimewaan pemakaian bahasa dan efek khusus yang ditimbulkannya.
BAB VIII
STILISTIKA DAN SEMANTIK DALAM KAJIAN SASTRA
Kode bahasa dalam sastra memiliki  dua lapis, yakni lapis bunyi atau bentuk dan lapis makna. Lapis makna dapat dibagi menjadi beberapa stratum, yakni:
a.      Unit makna literal yang secara tersurat direpresentasikan bentuk kebahasaan yang digunakan.
b.      Dunia rekaan pengarang
c.       Dunia yang dipandang dari titik pandang tertentu
d.      Lapis dunia tau pesan yang bersifat metafisis
Sejalan dengan pandangan Ferdinand de Saussure yang mengintroduksi istilah significant, yakni gambaran bunyi abstrak dalam kesadaran, dan signifie, yakni ambaran dunia luar dalam abstrak kesadaran yang diacu oleh significant.
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa makna adalah unsure yang menyertai aspek bunyi, jauh sebelum hadir dlam kegiatan komunikasi. Makna dalam pengertian luas yakni semua yang dikomunikasikan melalui bahasa, yan dapat diklasifikasikan menjadi tujuh macam:
1.       Makna konseptual, merupakan makna murni, asli sesuai dengan isinya.
2.      Makna konotasi, merupakan makna komunikatif dari suatu ungkapan menurut apa yang diacu, melebihi isi yang murni konseptual.
3.      Makna stilistik, yakni makna sebuah kata yang menunjukkan lingkungan social penggunanya dan berhubungan dengan situasi tetrjadinya ucapan itu.
4.      Makna afektif, yakni makna yang memiliki kandungan konseptual atau konotatif dari kata-kata yang dipergunakan.
5.      Makna refleksi adalah makna yang timbul dalam hal makna konseptual ganda.
6.      Makna kolokatif adalah makna yang timbul dari asosiasi-asosiasi yang diperoleh suatu kata, yang disebabkan oleh makna kata-kata yang cenderung muncul didalam lingkungannya.
7.      Makna tematik adalah makna yang dikomunikasikan menurut cara penutur atau penulis menata pesannya (menurut urutan, focus, dan penekanan).
BAB IX
KAJIAN STILISTIKA DALAM KARYA SASTRA
A.     Kajian Stilistika
Sejumlah definisi gaya menurut Enkvist:
1.       Gaya sebagai bungkus yang membungkus inti pemikiran atau pernyataan yang telah ada sebelumnya
2.      Gaya sebagai pilihan berbagai pernyataan yang mungkin
3.      Gaya sebagai sekumpulan cirri pribadi
4.      Gaya sebagai penyimpangan dari norma
5.      Gaya sebagai sekumpulan cirri-ciri kolektif
6.      Gaya sebagai hubungan antara satuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas.
Dalam istilah gaya secara umum berkaaitan dengan pemakain bahasa dalam  karya sastra sebagai bahan kajian stilistika. Dalam karya sastra, satiap kata memiliki tautan emotif, moral,  atau ideologis disamping maknanya yang netral. Gaya bahasa merupakan pemanfatan potensi bahasa yang ekspresif dan emotif sifatnya yang ditambahkan dalam penyajian gagasan yang netral dan sifatnya yang opresionnal.
B.     Gaya Bahasa: Foregrounding, Defamiliarisasi,dan Deotomatisasi
Foregrounding adalah melakukan pemberdayaan segenap potensi bahasa dengan mengeksploitasi dan memanipulasinya agar tercipta bentuk-bentuk bahasa yang unik dan khas, inovatif, serta inkonfensional, yang tidak nisa ditemukan dalam bahasa karya lain.
Menurut Shklovsky, bahasa dibuat defamiliarisasi, yakni sesuatu dibuat tidak familiar, tidak biasa, tidak dikenal. Sedangkan deotomatisasi adalah hubungan antara lambing dengan makna tidak secara otomatis, yang dilakukan dengan melanggar konfensi bahasa. Jika perlu, gaya bahasa oleh pengarangnya sengaja diciptakan sedemikian rupa, dengan menyimpangi kaidah bahasa yang berlaku.
C.     Aspek-aspek Stilistika dalam Kajian Karya Sastra
Beberapa aspek stilistika berupa bentuk-bentuk dan satuan kebahasaan yang ditelaah dalam kajian stilistika karya sastra meliputi:
1.       Gaya Bunyi (Fonem)
Fonem atau bunyi bahasa merupakan unsure lingual terkecil dalam suatu bahasa yang dapat menimbulkan dan membedakan arti tertentu. Fonem terbagi menjadi vocal (bunyi hidup seperti a,i,u,e,o) dan konsonan (bunyi mati seperti b,f,g,k,j,l dan sebagainya). Dalam karya sastra genre puisi, fonem merupakan aspek yang memegang oeranan penting dalam penciptaan efek estetis.
Timbullah irama indah yang tercipta dalam pisi, misalnya karena adanya asonansi dan aliterasi. Asonansi adalah pengulangan bunyi vocal yang sama pada rangkaian kata yang berdekatan dalam satu baris. Adapun pengulangan bunyi konsonan yang sama pada rangkaian kata yang berdekatan dalam satu baris disebut aliterasi.
Fonem /u/ misalnya mampu menciptakan nada dan suasana sendu. Fonem /a/ mampu menimbulkan nada dan Susana gembira. Tidak jarang pada puisi, orkestrisasi bunyi yang timbul karrena adanya asonansi dan aliterasi itu sering menimbulkan efoni dan kakafoni. Efoni adalah bunyi-bunyi yang merdu dan menyenangkan yang menciptakan musikalisasi bunyi yang indah. Adapun bunyi-bunyi parau, aneh, berat, kasar, terkadang tidak menyenangkan dan tidak menimbulkan musikalisasi bunyi disebut kakafoni. Asonansi dan aliterasi tersebut takterkecuali sering terdapt baik pada puisi konvensional maupun puisi  modern, bahkan kontmporer.
6. Citraan (Imagery)
Citraan atau imaji dalam karya sastra berperan penting untuk menimbulkan pembayangan imajinatif, membentuk gambaran mental, dan dapat membangkitkan pengalaman tertentu pada pembaca. Menurut Sayuti (2000: 174), citraan dapat diartikan sebagai kata atau serangkaian kata yang dapat membentuk gambaran mental atau dapat membangkitkan pengalaman tertentu. Dalam fiksi citraan dibedakan menjadi citraan literal dan citraan figuratif.
Citraan kata merupakan penggambaran angan-angan dalam karya sastra. Sastrawan tidak hanya pencipta musik verbal tetapi juga pencipta gambaran dalam kata-kata untuk mendeskripsikan sesuatu sehingga pembaca dapat melihat, merasakan dan mendengarnya (Scott, 1980: 139).
Fungsi citraan adalah untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam penginderaan dan pikiran, menarik perhatian dan membangkitkan intelektualitas dan emosi pembaca dengan cepat. Citraan kata dapat dibagi menjadi tujuh jenis yakni : 1) citraan penglihatan, 2) citraan pendengaran, 3) citraan penciuman, 4) citraan pencecapan, 4) citraan gerak, 5) citraan intelektual, 6) citraan gerak, 7) citraan perabaan.
Tujuh jenis citraan dalam karya sastra :
a)     Citraan Penglihatan (Visual Imagery)
Citraan yang timbul oleh penglihatan disebut citraan penglihatan. Citraan visual itu mengusik indera penglihatan pembaca sehingga akan membangkitkan imajinasinya untuk memahami karya sastra. Perasaan estetis akan lebih mudah terangsang melalui citraan visual itu.
b)     Citraan Pendengaran (Auditory Imagery)
Citraan pendengaran adalah citraan yang ditimbulkan oleh pendengar. Citraan pendengaran juga produktif dipakai dalam karya sastra. Berbagai peristiwa dan pengalaman hidup yang berkaitan dengan pendengaran yang tersimpan dalam memori pembaca akan mudah bangkit dengan adanya citraan audio.
c)      Citraan Gerakan ( Movement Imagery/Kinesthetic)
Citraan gerak melukiskan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai sebagai dapat bergerak ataupun gambaran gerak pada umumnya. Citraan gerak sangat produktif dipakai dalam karya sastra karena mampu membangkitkan imaji pembaca.
d)     Citraan Perabaan (Tactile/Thermal Imagery)
Berbeda dengan citraan penglihatan dan pendengaran yang produktif, citraan perabaan agak sedikit dipakai oleh pengarang dalam karya sastra. Dalam fiksi citra perabaan terkadang dipakai untuk melukiskan keadaan emosional tokoh.
e)     Citraan Penciuman
Citraaan penciuman dipakai pengarang untuk membangkitkan imaji pembaca dalam hal memperoleh pemahaman yang utuh atas teks sastrayang dibacanya melalui indera penciumannya. Dalam menangkap gagasan pengarang dalam karya sastra, citraan penciuman membantu pembaca dalam menghidupkanemosi dan imajinasinya.
f)       Citraan Pencecapan (Taste Imagery)
Citraan pencecapan adalah pelukisan imajinasi yang ditimbulkan oleh pengalaman indera pencecapan dalam hal ini lidah. Jenis citraan pencecapan dalam karya sastra dipergunakan untuk menghidupkan imajinasi pembaca dalam hal-hal yang berkaitan dengan rasa di lidah atau membangkitkan selera makan. Dengan citraan ini pembaca akan lebih mudah membayangkan bagaimana rasa sesuatu makanan atau minuman yang diperoleh melalui lidah.
g)     Citraan Intelektual (Intellectual Imagery)
Citraan yang dihasilkan melalui asosiasi-asosiasi intelektual disebut citraan intelektual. Dengan jenis citraan ini pengarang dapat membangkitkan imajinasi pembaca melalui asosiasi-asosiasi logika dan pemikiran. Jenis citraan ini termasuk sering digunakan dalam karya sastra guna merangsang intelektualitas pembaca.

BAB X
TEORI SEMIOTIK, INTERTEKS, RESEPSI SASTRA,
DAN HERMENEUTIK DALAM PENGKAJIAN STILISTIKA
A.     Teori Semiotik
Pendekatan semiotik berpijak pada pandangan bahwa karya sastra sebagai karya seni merupakan suatu system tanda (sign) yang terjalin secara bulat dan utuh. Sebagai system tanda ia mengenal dua aspek yakni penanda (significant) dan petanda (signifie). Sebagai penanda karya sastra hanyalah artefak, penghubung antara pengarang dan masyarakat pembaca. Disini karya sastra mencapai realisasi semesta menjadi objek estetik (Mukarovsky, 1976: 3-4).
Ahli semiotik Sander Peirce memusatkan perhatian pada fungsi tanda-tanda pada umumnya dengan memberikan tempat yang penting pada tanda-tanda linguistik, namun bukan tempat yang utama. Peirce (dalam Abrams, 1981: 170) membedakan tiga kelompok tanda, ketiga tanda itu yakni:
a)     Ikon (icon) adalah suatu tanda yang mengunakan kesamaan dengan apa yang dimaksudkannya.
b)     Indeks (index) adalah suatu tanda yang mempunyai kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya.
c)      Symbol (symbol) adalah hubungan antara hal/sesuatu (item) penanda dengan item yang ditandainya yang sudah menjadi konvensi masyarakat.
Ahli semiotic terkenal, Roland Barthes dalam bukunya My-thologies (1973, 193-195) menjelaskan cara kerja semiotic. Menurut Barthes mitos adalah suatu system komunikasi, sesuatu yang memberikan pesan. Baginya mitos bukanlah suatu benda, gagasan atau konsep melainkan suatu cara signifikasi suatu bentuk.
B.     Teori Interteks
Teori intertekstual memandang setiap teks sastra perlu dibaca dengan latar belakang teks-teks lain, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaan sastra tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai acuan. Hal itu tidak berarti bahwa teks baru hanya mengambilteks-teks sebelumnya sebagai acuan tetapi juga menyimpangi dan mentranformasikannyadalam teks-teks yang dicipta kemudian (Teeuw, 1984: 145-146).
Junus (1988: 108-117) merumuskan hubungan intertekstual dalam beberapa wujud: 1) teks yang dimasukkan itu mungkin teks yang kongkret atau mungkin teks yang abstrak yang penting adalah kehadiran sifatnya, 2) kehadiran suatu teks tertentu daam teks lain secar fisikal, 3) penggunaan tokoh yang sama, 4) kehadiran unsur dari suatu teks dalam teks lain, 5) kehadiran kebiasaan berbahasa tertentu dalam suatu teks, 6) yang hadir mungkin teks kata-kata, yaitu kata atau kata-kata atau ambigu maknanya.
C.     Teori Resepsi Sastra
Istilah resepsi sastra berasal dari kata rezeptionaesthetic, yang dapat disamakan dengan literary response (penerimaan estetik) sesuai dengan aesthetic of reception (Junus, 1984: 2).
Resepsi sastra berpandangan bahwa pada dasarnya karya sastra adalah polisemi. Tetapi bukan tidak mungkin seorang pembaca dalam suatu waktu tertentu hanya akan melihat satu “arti” saja. Atau mereka hanya memberikan tekanan pada satu “arti” tertentu dan mengabaikan “arti” yang lainnya. Dengan demikian “arti: dikonkretkan dengan hubungan oleh khalayak (audience) (Junus, 1984: 2).
Menurut Segers (1978: 49; Pradopo, 2002:24) penelitian dengan metode estetika resepsi adalah: 1) merekonstruksi bermacam-macam konkretisasi sebuah karya sastra dalam masa sejarahnya, 2) penelitian hubungan di antara konkretisasi-konkretisasi itu di satu pihak, dan penelitian hubungan antara karya sastra dengan konteks historis yang memiliki konkretisasi di lain pihak.
Pustaka:
Imron, Ali. 2009 . Stilistika, Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Solo: Cakra Books.